ㅡduapuluh enam

268 77 22
                                    

10:50 AM


Setelah sekian lama gak mengunjungi ke kampus, akhirnya kedua kaki gue kembali menginjak area dekanatnya. Kali ini gue hanya sendiri. Mark gak menemani gue ke dalam ruangan, karena dia menunggu gue di luar dekanat. Gue berniat mengurus berkas cuti kuliah, sepertinya gue harus beristirahat dalam beberapa waktu yang akan datang.

"Aduh, pantas aja Hendery udah gak pernah bareng adeknya ini." Kata salah satu staff yang berusaha gue balas dengan senyuman, "ternyata adeknya abis sakit."

"Tumben gak bareng kakak kamu?" Tanya staff lain.

"Itu... kebetulan dia lagi ada urusan lain, pak." Bohong gue, "jadi kita gak bareng kayak biasa untuk hari ini."

"Oh, gitu ya. Aca, yang bagian ini jangan lupa dikumpulin nanti ya!"

"Iya, pak. Makasih bantuannya."

"Jangan cuti lama-lama, oke?!"

"Siap, pak."

Gue menguras semua senyuman gue untuk orang-orang ini. Apalagi sekeluarnya gue dari dalam dekanat, gue bertemu beberapa teman kampus yang lama gak berjumpa dengan gue.

"Aca!"

Reflek gue menoleh, menemukan kehadiran Xavier yang sempat diam memandangi gue. Xavi —begitu panggilannya— awalnya agak ragu. Tapi begitu gue tersenyum, dia akhirnya menghampiri gue.

 Tapi begitu gue tersenyum, dia akhirnya menghampiri gue

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Long time no see, Ca. Senyumnya Dery kelihatan banget, jadi gue bisa tau gue gak salah orang."

Gue terkekeh, "kacamata lo pake, kasian tau mata lo kalau dipaksa kayak tadi."

"Hahaha, gak masalah. Gue emang males aja pake kacamata. Lo dari mana aja, Ca? Baru banget muncul di kampus lagi."

"Ada..."

"Ada apanya?"

"Ada deh!"

"Eh iya Ca, lo juga dicariin sama asdosnya Pak Andrew. Si Kak Jael kan?"

"Kak Jamal, Xav. Maklum sih kalo dia nyari gue soalnya gue ambil jeda pas asistensi terakhir kemarin."

"Terus itu abang lo kenapa ikut ngilang juga?"

Gue tersentak dalam hati meski Xavier menjadi orang yang kesekian bertanya soal keberadaan Hendery. Seharusnya gue lega karena masalah 'kita' gak sampai terendus orang luar, tapi mendengar orang-orang menyebut atau menyinggung namanya aja gue masih belum terbiasa.

"Dia lagi ada urusan sama papi gue di Spore, Xav." Bohong gue lagi dan lagi untuk menutupi kebingungan sendiri, "nanti juga balik sendiri kok."

"Oalah, oke oke, hati-hati kalau gitu. Jangan lupa ketemu Kak Jamal juga biar gak dikejar kayak hewan ternak. Eh, tuh cowok lo udah nungguin."

Gue berbalik lalu mendapati Mark yang sedang menelepon di lobby fakultas.

"Cowok apanya?"

"Alah gak usah belagak, lo sama Mark pacaran kan? Satu kampus sampai juru kunci kelas juga udah tau."

"Ada ada aja lo, parah, hahaha!"

"Lo keren tau, kapan lagi kita bisa liat si Marcelino jadi bucin? Hebat ya itu bocah bisa bikin Dery percayain adeknya ke dia."

Well, you don't even know the truth, Xavi.

"Okelah, gue duluan kalau gitu."

Xavi mengangguk, "salam sama bokap nyokap."

"Oke!"

Gue akhirnya mampu berbalik seutuhnya dari Xavi, memudarkan senyuman penuh perjuangan ini. Sejujurnya, meskipun bukan hal yang berat banget, tapi berusaha terlihat biasa-biasa aja di depan banyak orang itu butuh tenaga besar. Apalagi ini menyangkut masalah keluarga, yang di mana menurut mereka, keluarga gue itu sangat menyenangkan.

Ketika gue berada dalam jarak dekat dengan Mark yang masih menelepon, gue bisa mendengarnya memberi penolakan pada seseorang.

"Tolonglah, Kak. Urusanku di sini belum selesai semua."

"..."

"Ya, oke, fine. Bagi kamu itu gak seberapa, tapi tolong, aku gak bisa membiarkan apapun kalau itu belum selesai."

"..."

"I can't make a promise if it's about London."

"..."

"Ya, ya, oke."

Dengan deru nafasnya yang terdengar kesal, Mark mengakhiri teleponnya. Secara gak sengaja dia melirik ke arah gue dan terkejut.

"Ca..."

Gue dengan nada ceria bertanya, "Kak Tom?"

Mark mengangguk ragu, "maaf."

"Maaf kenapa?"

"Kamu dengar my conversation with him, kan?"

"Hehehe."

Mendadak Mark mendekat seolah ingin memberikan 'forgive me hug' itu tapi segera gue cegat. Dia bertanya, "kenapa?"

"Ini kampus, Marcelino. Ini publik loh, gak enak dilihat orang lain."

Tangannya menepuk dahi sendiri, "maaf."

Gue mendengkus, "kamu kurang fokus, ayo kita beli air mineral dulu."

Mark mengangguk siap, namun langkah kita dihentikan oleh suara yang memanggil nama gue.

"Aca..."

Itu bukan Xavier, itu bukan Dean, itu bukan Feyka. Gue menoleh, menemukan kehadiran Hendery dengan satu tangan yang menenteng sebuah helmet hitam legam. Reflek gue menyentuh kemeja yang Mark kenakan, membuat dia menggeser tubuh ke depan gue seolah menjadi tameng.

"Aca, please..."

Nafas gue tercekat hanya karena Hendery menyebut nama gue.

"Can we talk?"

"Buat apa?" Tanya Mark dingin.

"Gue cuma mau bicara sama adek gue, Mark. Just let me—"

"Gue yakin lo gak sebodoh itu sampai gak tau psikis dia kalau lo ada itu gimana."

Hendery menunduk lalu mengangguk. "Gue gak akan melakukan apa-apa, please, hanya mengobrol. Gak mungkin gue mengatakan semuanya di sini, kan?"

"..."

"Ca, please-lah." Pintanya dengan menatap gue yang sedikit bersembunyi di balik bahu Mark.

"..."

"Aca."

"..."

"Lo mau ngomongin apa?"

Mark spontan menoleh ke belakang karena pertanyaan gue, "Ca..."

Literally, cukup sulit membiarkan wajah Hendery memelas seperti itu. Gue berbisik pada Mark, "kamu temenin aku aja. Bisa, kan?"

Tatapan Mark yang dingin terhadap gue cukup untuk menjadi ciri jika dia sedang dilema. Dalam beberapa detik kita senyap, hingga akhirnya Mark mengalihkan pandangannya menuju ke depan.

"Mau ngobrol di mana?"

ARCADE ✓Where stories live. Discover now