3. MELUPAKAN?

43 8 0
                                    

Aesfan menuruni anak tangga, masih mengenakan piama tidur bermotif penguin. Langkahnya sampai di dapur, dari sana tampak Bi Nani menyiapkan sarapan. Aesfan melangkah malas menghampiri meja makan tersebut.

"Pagi, Den Aes."

"Pagi, Bi," sahut Aesfan. Matanya menelisik meja makan, hanya ada sepiring nasi goreng dengan beberapa lauk lainnya di piring lain.

"Ayah masih di rumah 'kan, Bi?" tanya Aesfan.

"Iya, Den."

"Ayah nggak sarapan?"

Bi Nani terlihat kesulitan menjawab. Aesfan paham, ia memutar balik badannya dan berjalan menuju ruanh tamu. Tampak ayahnya sedang menikmati sarapan dengan tatapan lurus ke arah televisi yang menyala. Ini adalah kebiasaan ayahnya setelah bundanya pergi. Aesfan dengan tampang dingin itu menghampiri Ardana.

"Kenapa nggak mau sarapan sama Aes di meja makan?" tanya Aesfan berdiri di samping ayahnya.

Ardana mendongkak ke samping, mengerjap sambil memikirkan jawaban apa yang harus ia keluarkan. Aesfan pasti marah padanya.

"Ayah mau nonton berita. Nanti ketinggalan," sahut Ardana.

Aesfan menatap layar televisi. Ia terkekeh sinis setelah melihat channel apa yang ayahnya buka.

"Berita Dora and But? Ayah buka channel Globaltv. Ini jam cewek rambut pendek itu main sama monyet," cetus Aesfan.

Ardana menunduk, memainkan sendoknya. Sarapan ayahnya tinggal sedikit, Aesfan yakin ayahnya sedari tadi fokus makan tanpa melihat layar di depannya itu.

"Jangan Ayah pikir Aes nggak tau. Aes ngerti perilaku Ayah selama ini. Pasti Ayah selalu ingat Bunda kalau lagi di dapur dan meja makan 'kan? Kolam ikan Ayah yang dulu selalu bersih sekarang nggak sebersih dulu, itu karena Ayah nggak mau liat taman bunga Bunda 'kan? Terus Ayah selalu pengin tidur bareng Aes karena Ayah nggak sanggup tidur sendiri tanpa Bunda 'kan?" ucap Aesfan beruntun, pelupuk matanya terasa perih menahan air mata agar tak tumpah. "Aes tau, Yah," lirih Aesfan.

Ardana bangkit dari duduknya dengan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Beliau menatap Aes dan memegangi pundaknya.

"Melupakan itu emang sulit Aes, bahkan nggak bisa. Tapi satu yang harus kamu lakukan. Ikhlaskan. Jelas Ayah sulit lupain Bunda kamu, dia istri Ayah. Dia yang menemani Ayah dari dulu. Dia juga yang melahirkan kamu. Bagaimana bisa Ayah mudah lupain dia? Tapi Ayah selalu berusaha buat menerima apa yang telah Tuhan takdirkan buat Ayah, buat kita, Nak."

Aesfan menunduk, bersamaan dengan itu air matanya jatuh. Rasanya sesak sekali mendengar apa yang ayahnya katakan. Tetapi Aesfan juga kesal, ayahnya mampu melakukan hal itu sedangkan dirinya tidak.

"Tapi Aes nggak suka Ayah bohong. Selalu tersenyum buat tutupin semua kesedihan Ayah. Ayah anggap Aes apa? Aes juga bisa jadi tempat Ayah curhat. Tapi yag Aes dengar malah ujaran kalau Ayah senang dan tentang kesibukan Ayah di luar negeri. Ayah nggak pernah jujur soal perasaan Ayah sama Aes!" lontar Aesfan.

Tatapan menuntut anaknya yang dibalas oleh anggukan oleh Ardana. Ardana meraih piring bekas ia sarapan di meja, lalu hendak berlalu dari sana. Namun, Aesfan kembali berujar tanpa menoleh ke belakang.

"Hari ini Aes mau ke makam Bunda. Kalau Ayah mau, kita bisa ke sana sama-sama."

"Ayah ada janji sama temen, Aes. Lain waktu Ayah temenin kamu," sahut Ardana seraya melanjutkan langkahnya.

Aesfan tertawa tanpa suara. Ia menoleh ke belakang dengan tatapan nanar.

"Jadi Ayah nantangin Aes?" gumamnya pelan.

Aesfan mengenakan baju serba putih. Tak lupa memakai peci hitam juga. Dirinya di depan cermin tampak segar sehabis mandi. Aesfan memakai jam tangannya sebelum keluar dari kamarnya.

Aesfan membuka pintu belakang. Ia menghampiri tanaman anyelir merah yang tumbuh subur. Aesfan memetik setangkai bunga itu, menghirup baunya dan tersenyum hangat. Sesaat langkahnya ingin pergi, ia melihat tanaman bunga anyelir kuning yang tampak kering. Wajah Aesfan tampak lebih dingin, ia tahu siapa pelakunya. Sudah pasti ayahnya yang melakukannya.

***

Aesfan masuk ke dalam sebuah toko bunga yang bernama 'Toko Bunga Kenangan'. Tempat itu adalah tempat langganan Aesfan membeli bunga anyelir kuning.

"Anyelir kuning satu tangkai aja?" tanya seorang gadis pelayan toko itu. Namanya Saila-gadis pendek dengan rambut panjang hitam diikat longgar.

"Seperti biasa, Ai," sahut Aesfan bersandar di tembok dekat meja Saila.

"Gue ambilin dulu."

Saila mengambil setangkai bunga anyelir kuning dan menyerahkannya langsung pada Aesfan. Saila sejujurnya tahu Aesfan gunakan untuk apa bunga itu, tetapi ia hanya diam saja. Ia merasa tak berhak mencampuri kehidupan Aesfan. Saila juga tahu bagaimana kerasnya hati Aesfan tentang menyimpan dendam. Saila hanya ingin Aesfan tak mencari bunga anyelir ke lain tempat.

Aesfan menyerahkan uang harga bunga tersebut pada Saila. "Gue pergi dulu," ucapkan dengan tampang tanpa gairah.

"Hati-hati, Fan."

Seorang pria keluar dari dalam toko bunga tersebut. Pria itu mendekati Saila sambil memperhatikan Aesfan yang berjalan menuju mobilnya dari dalam toko berlapis dinding kaca.

"Dia beli bunga itu lagi?"

"Iya, Kak. Seperti biasa, tiap minggu dia selalu ke sini buat beli bunga itu," sahut Saila.

"Jangan bikin dia kesel dan nggak beli bunga di sini lagi. Gue lebih mudah pantau keadaan dia kalau dia tiap minggu ke sini."

Saila tersenyum pada pria bertubuh cukup kekar dan tinggi itu.

"Gue usahain, Kak. Semoga gue nggak keceplosan mau ceramahin dia."

"Jangan dulu. Biar gue aja nanti."

"Iya. By the way, duit Aes buat gue 'kan? Buat beli gorengan di depan. Hehe."

Pria itu hanya tersenyum menyetujui.

***

Aesfan membuka botol kaca kecil berisi air yang sudah ia bacakan surah yasin tadi malam. Aesfan menyiramkan air itu di atas makam bundanya. Satu tangkai bunga anyelir merah ia letakkan di atas gundukan tanah itu.

"Bunda. Aes datang lagi."

"Tapi hari ini Aes sedih, Bunda. Ayah lagi-lagi nggak mau ikut ke sini. Ayah bener-bener nggak mau tengokin Bunda."

"Bukan Ayah nggak sayang Bunda. Tapi sayang banget. Saking sayangnya mungkin Ayah nggak sanggup liat bunda cuma lewat gundukan tanah. Ayah mungkin kuat buat ikhlasin Bunda. Tapi Ayah nggak sekuat Aes yang bisa samperin Bunda tiap minggu ke sini."

"Aes janji bakal ajak Ayah ke sini. Aes bakal buat Ayah ngerasain. Gimana terharunya liat nama bunda di batu nisan. Nama Bunda cantik banget. Ayah harus liat ini nanti."

Aesfan terisak.

"Ayah semprot racun ke tanaman anyelir kuning punya Bunda. Ayah nggak suka Aes gini."

Aesfan menunduk memeluk nisan di depannya. Tangisan pilu itu kembali terdengar. Tatapan Aesfan kini menoleh pada makam Farhat. Makam yang seolah-olah menunggu bunga anyelir kuning dari Aesfan. Tatapan yang tadinya sendu, berubah menjadi tatapan penuh kebencian. Aesfan meraih setangkai bunga anyelir kuning dari saku celananya. Ia berjalan ke arah makam itu. Tampak taburan bunga mawar merah dan melati ada di atasnya. Menandakan baru saja ada seseorang yang mengunjungi makam itu.

-BERSAMBUNG-

YELLOW CARNATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang