12

7 5 0
                                    

Jane tidak merasa mereka punya jalan keluar selain bermalam, meskipun opsi itu juga terdengar buruk baginya. Gadis itu tidak memprotes, dia tetap menurut. Sadar diri bahwa dirinya tidak mungkin masih ada di tempat ini kalau bukan karena kakaknya.

James mengeluarkan pisau yang dia punya, juga meletakkan senapannya di tanah. Dia merogoh kedua saku celana, saku di balik rompi yang dikenakannya dan sabuk. Namun, nihil. Pisaunya memang tinggal dua buah, satunya lagi berada pada Jane sekarang. Pria itu membuang napas gusar sambil mengacak rambut. “Kita benar-benar tidak beruntung,” keluhnya.

Pisau di tangan Jane terasa dingin, dia menggenggamnya kuat-kuat dan hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Kalau saja kau tidak menghilangkan pisau-pisau itu, kurasa kita bisa merasa lebih aman.” James memasukkan pisaunya ke saku di balik rompi dan kembali memasang senapannya. Dia menggeleng lemah, benda itu sudah tidak berguna lagi sekarang.

“Kau mengharapkan apa? Aku hampir mati tenggelam barusan. Mana mungkin aku bisa mempertahankan pisau-pisau itu,” bantahnya. “Aku juga menggunakan pelurunya untuk menyelamatkan diri dan membunuh Eyeless pertama yang mengejar kita.”

James menatap adiknya. “Kalau kau bisa menyelamatkan diri lebih cepat dan keluar dari air segera, aku tidak perlu menembak monster itu lagi dan menghabiskan peluru terakhir kita.”

“Kau berharap aku bisa menyelamatkan diri sebaik dirimu?” Jane mengernyit. Dia sudah bersyukur bisa keluar dari rumahnya yang terbakar dengan selamat. “Tidak ada satu hal pun dari masalah yang terjadi sekarang, pernah kupersiapkan seumur hidup. Lalu, sekarang kau menyalahkanku?” Nada suara Jane menajam, dia menatap James menuntut jawaban.

“Apa aku pernah berpikir, kalau kita akan berakhir seperti ini?” Pria itu balas bertanya. “Aku pernah memikirkan banyak skenario bahwa akulah yang akan ada di posisi ini. Tidak denganmu. Namun, tanpaku, kau harusnya bisa memikirkan hal yang sama untuk jaga-jaga.”

Jane tertawa getir dan berdiri. “Satu-satunya hal yang kupikirkan setiap hari adalah urusan rumah tangga dan kedua orang tua kita,” balasnya. “Apa kau ingat, berapa kali aku sudah memintamu untuk mengajariku cara berburu atau sekadar diajak ke dalam hutan? Apa ada satu hal yang kau lakukan? Aku selalu melakukan semuanya sendiri. Meraih apa yang kuinginkan dengan usaha sendiri. Lalu, sekarang kau menyalahkanku?”

“Masuk ke hutan dan pergi berburu itu bukan pekerjaan ringan, Jane. Kukira aku sudah mengatakannya padamu.” James berkacak pinggang dengan satu tangan, tatapannya balas memandang lurus sang adik. “Kita sudah pernah mencoba itu, bukan? Dan, tidak banyak yang bisa kau lakukan selain membebaniku. Dalam kondisi tertentu, aku mungkin tidak mampu menolongmu lagi. Bagaimana kau akan mempertahankan hidup, kalau menjaga benda mati penting seperti senjata saja tak bisa.”

Jane merasa emosinya mendidih. Memang benar, dia bukan tipikal seseorang yang bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini. Namun, kakaknya, James menyerah padahal mereka baru sekali mencoba. Mana mungkin Jane bisa menembak anak rusa atau membuat api unggun dalam percobaan pertama.

“Kau yang menyerah padaku lebih dulu. Kau tidak bisa menyamakan diriku yang tidak terlatih dengan orang sepertimu.” Jane merasa terpojok. Dibandingkan James, dia memang tidak berguna di dunia apokalips seperti ini. “Mungkin harusnya kau tidak perlu menolongku di sungai tadi. Jadi pelurumu masih ada. Kau juga tidak perlu mempersenjataiku, jadi benda-benda itu masih ada sekarang.”

James berdecak. “Daripada mengasihani diri sendiri seperti itu, lebih baik kau berpikir. Hal apa yang bisa kau lakukan untuk jadi berguna.” Dengan luka di sekujur tubuhnya, terutama patah tangan kiri dan luka di kanannya. Pria itu tak yakin bahwa dia bisa membantu secara maksimal seperti sewaktu di sungai tadi.

“Kau pergi saja, tinggalkan aku di sini. Aku akan cari jalan keluar sendiri,” cicit Jane, merasa putus asa bercampur rasa bersalah. Dia kembali duduk sambil memeluk kedua kaki. “Kau akan baik-baik saja tanpaku, tapi aku tidak bisa tanpamu. Namun, aku tidak akan merepotkanmu lagi, aku akan menyusul Ayah dan Ibu.”

“Janeee.” James mengerang, merasa sebal kalau adiknya mulai bertingkah laku seperti ini. Menurutnya hal tersebut sangat tidak bertanggung jawab dan kekanak-kanakan. “Ayolah, bantu aku dan jangan jadi seperti ini.”

“Aku sedang membantumu sekarang. Aku membirkanmu pergi tanpaku, secara sukarela. Aku tidak akan jadi penghambat bagi siapa pun lagi.” Jane kembali berdiri, kedua tangan terkepal di sisi tubuh dan matanya berkaca-kaca. Dia serius, tidak pernah lebih serius daripada malam ini. Menyakitkan saat gadis itu berpikir bahwa James pasti mengira tingkahnya kekanak-kanakan.

Pria itu selalu berpikir bahwa dia tidak berguna, tidak bisa diandalkan, dan ceroboh, sampai-sampai Jane tak lagi percaya diri pada kemampuannya dan tak pernah mengembangkan diri.

Gadis itu menarik ingus dan berbalik. “Kalau kau tidak mau pergi, biar aku saja.” Dia mulai berjalan. Belum sampai dua langkah, James menahan dan menarik lengan adik perempuannya sampai gadis itu terseret kembali ke tempat semula. Jane mendelik. “Lepaskan aku!” Dia berusaha menyentak tangan James.

“Dengar, Jane. Astaga, aku bilang seperti itu bukan untuk mengusirmu. Aku bilang, aku punya cara, kan? Kau harus mendengarkanku.”

“Aku tidak bisa melakukannya!”

“Untuk kali pertama, aku akan mengandalkanmu dan kau bilang, kalau kau tidak bisa melakukannya. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki hal ini?"

“Tidak ada, sudah terlanjur. Salahkan saja dirimu di masa lalu.” Jane masih menggeliat dalam genggaman James, berusaha membebaskan diri.

James bukan tipikal yang suka meminta tolong. Dia merasa kedudukannya sebagai seorang kakak, anak sulung laki-laki, sekaligus kepala keluarga menggantikan ayahnya yang tak lagi bisa menjalani kehidupan normal. Memaksa James untuk melakukan segala hal sendiri dan menjauhi adiknya dari bahaya. Dia pernah memikirkan bahwa sikapnya tak termaafkan dan buruk sekali, tetapi James benar-benar tak pernah bermaksud untuk menyakiti atau menarik garis besar antara dia dan sang adik. Sebaliknya, dia berharap kondisinya baik-baik saja agar bisa terus melindungi gadis kurus di depannya sekarang.

“Kumohon, Jane. Dengarkan aku ... maafkan aku, oke?”

[]

Not Die TodayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang