✈ 28. That's A Lie ✈

347 19 9
                                    

Helvetia Chicago

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

Helvetia Chicago.

Gadis yang kini tengah menatap dirinya di kaca dalam diam. Memperhatikan setiap inci dari tatapan matanya yang tajam namun kosong.

Keduanya tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tak bisa menjelaskan perasaan sakit dalam hatinya sekarang. Bahkan ia tak bisa menangis untuk melampiaskan semuanya.

Dalam pikirannya terus terputar memori tentang hidupnya yang kacau selama ini. Tak terkecuali kenangannya bersama Travis beberapa waktu lalu.

Kenapa dunia jahat padanya?

Chicago tak menginginkan hidup seperti ini. Bahkan kalau bisa...ia juga tak ingin dilahirkan jika pada akhirnya kebahagiaan tak kunjung ia dapatkan.

Sekian lama terdiam, bibirnya tersenyum lembut. Pandangan Chicago mengarah ke gaun putih sederhana yang ia kenakan saat ini melalui pantulan kaca. Terlihat begitu indah, batinnya memuji gaun tersebut.

Hidupnya yang hanya dikelilingi oleh warna-warna kegelapan membuat Chicago terpana seketika dengan putih yang terlihat bersih, indah, suci dan menenangkan.

"Jika aku pergi dari dunia ini apakah aku akan bahagia nanti?" Chicago bergumam dengan pandangan kosong.

"Aku...aku tidak pernah tau bagaimana bahagia itu sesungguhnya tapi saat aku bersama Travis, aku merasakan perasaan yang membuatku senang. Itukah yang disebut bahagia?

Chicago tersenyum sinis. Ia berjalan pelan ke arah lemari nakas samping tempat tidurnya. Sebuah pistol yang sudah terisi 5 butir peluru.

Dia memang seorang manusia. Namun sayangnya ia sudah tak punya empati untuk sekadar mengasihani Cassie yang telah merebut kekasihnya.

Menghela nafas sejenak, Chicago menetralkan raut wajahnya tanpa ekspresi kemudian keluar dari kamarnya. Tepat disaat yang bersamaan, Travis keluar dari kamarnya disusul Cassie.

"Travis." panggil Chicago.

Keduanya menoleh bersamaan. Chicago mendengus saat melihat Cassie tersenyum padanya sembari menggenggam lengan Travis didepannya. "Ada apa, Chicago?" tanya Travis.

Sebelum membalasnya, Chicago berjalan lebih dulu ke ruang makan. Ia bisa melihat meja makan yang sudah tersedia banyak masakan yang masih panas.

"Ah, Travis...aku membuat semua makanan favoritmu semenjak kecil." kata Cassie sembari menuntun Travis untuk duduk dengan antusias.

"Terima kasih, Cassie. Apa kau mempersiapkan semua ini pagi sekali?"

"Iya. Tapi aku senang, setidaknya kau bisa kembali merasakan makanan rumahan yang lezat. Tidak selalu makan makanan instan, itu kurang baik untuk kesehatanmu." kata Cassie kemudian sembari menatap remeh pada Chicago.

Chicago menatap datar keduanya. Gadis itu beranjak ke dapur, membuka lemari yang menyimpan whiskey.

Saat meneguk whiskey nya, Chicago iseng membuka bak sampah dan menemukan secarik kertas yang terlihat sudah diremas kasar.

Disana ada tertulis pemesanan makanan atas nama Cassie serta beberapa menu makanan yang persis ada diatas meja makan tadi. Bahkan waktu pemesanan baru beberapa jam lalu.

Sontak Chicago tertawa nyaring hingga menginterupsi perhatian Travis. "Kau kenapa Chicago?" tanya Travis kebingungan melihatnya.

Gadis itu menyeringai sinis. Ia mengambil sebuah piring dan meletakan kertas nota pembelian diatas piring tersebut. Chicago bisa melihat keterkejutan di mata Cassie saat ia berjalan semakin dekat kearah mereka.

"Travis sayang...aku juga sudah mempersiapkan makanan untukmu. Dan ini makanannya." ucap Chicago seraya menyerahkan piring berisi nota pembelian itu tepat didepan Travis.

Travis yang masih kebingungan sempat menatap Chicago dan Cassie yang terlihat ketakutan bergantian.

Ia meraih kertas tersebut dan untuk sesaat dibuat terkejut oleh apa yang tertulis disana. Travis sontak menatap Cassie yang mulai takut dan bersiap untuk menangis.

"Hiks...aku sejujurnya terlambat bangun pagi ini karena kepalaku pusing. Padahal aku sudah merencanakan untuk memasakkan makanan favoritmu. Hiks..."

"Jadi a-aku memesan semuanya agar kau tetap memakan makanan favoritmu meski aku-hiks...aku tidak bisa memasaknya." jelas Cassie seraya menangis tersedu-sedu.

Travis berusaha menenangkan Cassie. Ia menatap Chicago yang kini dengan santainya memakan sereal sembari meminum alkohol.

Chicago yang merasa ditatap seketika mengangkat bahunya seolah mengatakan ia tidak tahu mengapa Cassie menangis seperti itu.

Raut wajah Travis berubah datar. Ia tiba-tiba beralih duduk di samping Chicago dan ikut memakan sereal milik gadis itu. Travis menoleh pada Cassie, "Lain kali jika kau sedang sakit, tidak perlu memaksa untuk menuruti rencanamu."

"Setidaknya memakan makanan instan lebih baik daripada memakan makanan rumahan yang ternyata berasal dari sebuah restoran." sambungnya.

Chicago merangkul Travis sembari balas menatap remeh, tak lupa dengan seringaian sinisnya pada Cassie yang kini diam-diam mengepalkan tangannya.

'Jalang sialan!' batin Cassie merutuki kecerobohannya.

'Jalang sialan!' batin Cassie merutuki kecerobohannya

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
ACATHEXIS Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum