31. Runaway

162 31 17
                                    

Mata Sofi sembab.

Ia sedang asyik memilih-milih pakaian pada salah satu outlet di kecamatan Klojen, kota Malang.

Sepanjang perjalanan, setelah Vallena meminta untuk memilihkannya pakaian lelaki, wanita berambut brunette itu tiada henti menangis.

"Kenapa kamu nangis?" tanya Vallena panik.

Sofi terus menitikkan air mata, napasnya sesegukan. Ia sangat terharu, tangisannya bukan karena kesedihan, melainkan kebahagiaan.

"Bagaimana aku tidak menangis ..." Sofi terbata, "kamu bilang pakaian lelaki? Apa kamu serius, Vall?"

Vallena bernapas lega, tadinya ia cemas dengan apa penyebab Sofi menangis.

"Aku memang ingin memakai pakaian lelaki. Aku ingin merasakannya," jawab Vallena.

Sofi makin tersedu-sedu, ia terlalu bahagia. Semisal pada akhirnya, Vallena memutuskan untuk kembali menjadi lelaki, kisah cinta mereka akan berakhir indah dan sempurna.

"Kenapa kau melakukan ini? Apakah karena aku?" selidik Sofi.

Vallena menggeleng, "Tidak. Semenjak lama, aku memang ragu akan jati diriku. Aku merasa aku bukan seperti transgender pada umumnya. Aku tak begitu yakin aku transgender, bahkan. Itulah sebabnya aku merasa bingung dan kalut hingga ingin mengakhiri hidup. Tiap kali aku mengalami depresi, mom selalu menemaniku dan meyakinkanku agar kembali menjadi wanita, seperti panggilan jiwaku."

Sofi membatin.

Ada yang aneh dari cerita-cerita Vallena mengenai Ida. Bukankah seharusnya Ida membantu Vallena untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Namun, entah mengapa, Ida terkesan 'memaksa' agar Vallena menjadi wanita. Tapi mengapa? Mana mungkin ada orang tua yang menjerumuskan anaknya? Teka-teki atas sikap Ida selalu memunculkan plot hole di dalam hati Sofi.

"Apakah, bu Ida tak pernah berusaha menjadikanmu sebagai anak lelaki?" pancing Sofi.

"Tidak. Justru, mom selalu marah dan menghukumku ketika aku ingin berpakaian seperti anak lelaki. Aku masih ingat, ketika aku berusia lima tahun, saat itu kami masih di Belanda. Secara sembunyi-sembunyi aku menyusup keluar rumah, dan bermain dengan anak-anak lainnya. Aku asyik bermain bola dengan mereka, mom tau, ia langsung menghukumku. Seharian mengunciku di basement tanpa memberikan makan dan minum," terang Vallena. Matanya berkilat bak menyiratkan kegetiran teramat dalam.

"Astaga! Bu Ida melakukan itu padamu?" Sofi tak habis pikir.

"Aku masih ingat dengan jelas karena bagiku pengalaman itu sangat traumatis," kenang Vallena.

"Oh ... Vall," Sofi mengusap pundak Vallena dengan tangan kirinya. Hatinya sembilu, membayangkan kehidupan masa kecil Vallena yang penuh dengan luka batin. Betapa terlukanya inner child sang kekasih.

Ada yang tidak beres dengan Ida. Sofi membatin. Tapi tak ia ucapkan. Sekali lagi, tak mungkin berkata buruk tentang orang tua seseorang. Ia merasa tak berhak. Bagaimana pun, Ida adalah ibu dari Vallena, dan Sofi tak ingin menyinggungnya.

"Cari baju model apa, mbak?" tanya seorang pelayan outlet membuyarkan lamunan Sofi.

"Oh, ehm, anu mbak ... cari jaket jumper untuk lelaki ukuran big size sama kalau ada jogger pants juga," jawab Sofi. Ia memilih pakaian yang tak terlalu mencolok untuk Vallena. Ia tak berani membelikan jeans, tak tahu pasti ukuran si model.

Si pelayan tersenyum ramah, "Ada banyak pilihan di sebelah sini, mbak," tuntunnya, "mau warna apa?"

"Cari yang warna gelap aja. Hitam sama abu-abu," sahut Sofi.

CAH AYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang