Bab 1

27 2 0
                                    

"Oke, mungkin udah cukup dari aku. Ada yang mau nambahin? Atau ada yang mau nanya?" Abi mengakhiri penyampaiannya dan mencoba mengajak anggota-anggotanya berdiskusi agar rapat berjalan dengan aktif.

Selepas kuliah hari ini, semua anggota himpunan diminta untuk tidak langsung pulang ke rumah karena masih ada agenda rapat yang wajib diikuti. Abi - pemimpin rapat sekaligus ketua himpunan tengah menatap satu per satu anggotanya. Hingga terdengar suara berat yang menginterupsi.

"Aku, Bi" Dimas, salah satu anggota himpunan, mengangkat tangan untuk bertanya sekaligus mengawali jalannya diskusi.

"Silahkan, Dim" jawab Abi "Oh iya, jangan lupa dicatat ya Ra" lanjut Abi untuk mengingatkan Heera yang bertugas sebagai notulensi dan mencatat hal-hal penting dalam rapat kali ini.

Heera tidak menjawab, ia hanya mengangkat tangannya dan mengacungkan ibu jari tanda ia sudah siap dengan catatannya.

Kurang lebih tiga bulan ia menjabat sebagai sekretaris himpunan ditambah lagi ia sering melihat kakak tingkat atau biasa disebut kating yang dulunya menjabat sebagai sekretaris ketika mencatat sepanjang rapat berlangsung, membuatnya sudah hapal dengan perannya sebagai sekretaris. Bahkan jika tidak dingatkan pun, ia akan siap siaga untuk mencatat, dengan alat tulis apapun yang tersedia.

Setelah Dimas mengangkat suara, anggota rapat lainnya juga ikut menyusul menyuarakan pendapatnya masing-masing dan bertanya mengenai hal yang tadi memang belum dijelaskan dengan detail oleh Abi.

Dua puluh menit berlalu, akhirnya Abi benar-benar menutup rapat hari ini karena dirasa semuanya sudah jelas dan mengerti. Semua anggota rapat diperbolehkan pulang dan bersiap untuk rencana mereka selanjutnya.

Rencana mengenai aksi demo, sudah disiapkan dari jauh-jauh hari karena persiapannya cukup banyak dan berisiko. Jika dilakukan secara mendadak, tanpa persiapan, bahkan tanpa berpikir panjang, siapapun pasti setuju bahwa aksi demo tersebut tidak akan berjalan dengan lancar dan tujuan demo akan sulit tercapai.

Setelah keluar dari ruang rapat, Heera melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, sebelum pulang Heera menyempatkan ke Mushola kampus terlebih dahulu untuk menunaikan shalat Ashar. Tujuannya agar ia bisa pulang ke rumah dengan tenang tanpa terburu-buru.

***

" Yeayy, Heera udah pulang! Pesenanku ga lupa kan Ra?" suara Zahra pertama kali terdengar ketika Heera baru melangkah memasuki pintu rumah.

"Dih, kamu nitip apalagi sama Heera? Jajan terus perasaan" kali ini suara Kinan yang menjawab pertanyaan Zahra, tapi jelas itu bukan jawaban, melainkan Kinan membalas dengan pertanyaan lagi.

"Ih bukan makanan ya, kepo banget. Anak kecil ga usah banyak nanya, ini urusan anak gede, hush hush" ucapan Zahra hanya ditanggapi oleh Kinan dengan menirukan gestur seperti hendak memukul orang, tapi nyatanya angin yang menjadi sasarannya.

Heera hanya tersenyum dan menganggukkan kepala sembari memberikan satu bungkus plastik berisi barang-barang yang dipesan Zahra ketika dirinya hendak pulang ke rumah. Heera kembali mengangguk dan pamit untuk masuk kamar setelah Zahra mengucapkan terima kasih dan memeluknya kencang seperti yang biasa dia lakukan saat merasa senang.

Sejak awal kuliah, Heera, Kinan, dan Zahra tinggal dalam satu rumah yang dikontrakkan tidak jauh dari kampus mereka. Mereka memilih tinggal di satu rumah yang sama dibandingkan tinggal di kos-kosan, alasannya karena ingin hubungan mereka lebih erat dan bisa lebih mudah untuk saling membantu satu sama lain.

Ketiganya sudah bersahabat sejak SMA dan memutuskan untuk merantau bersama melanjutkan kuliah di kampus yang berada di ibu kota provinsi. Walaupun kampus mereka sama, tetapi mereka tidak berada di jurusan yang sama.

HeeraWhere stories live. Discover now