Bab 1. Setia Yang Terluka

36 6 7
                                    


[ Jangan buta, hanya aku yang setia. Walau tahu kamu punya banyak cela. ]

Awan jingga bergurat melukis langit sore. Semilir angin meniup pelan tirai-tirai putih yang menggantung pada tenda.  Petikan gitar, drum, juga suara beberapa alat musik terdengar dari atas panggung, bersiap untuk acara besok.

Sementara itu, dari lantai dua, dua pasang mata sedang saling menatap untuk sesaat. Mata bulat gadis itu membinar, menunggu jawaban pemuda dihadapannya.

“Ga bisa, gue udah punya pacar. Lo tau itu”

Senyuman yang mulanya terlihat jelas kini mulai samar. Helaan nafas berat terdengar dari salah satunya.

“Gue tau, gue tau kalo Yassar itu pacarnya Ayana, satu sekolah juga tau. But, I can be the second, I don’t mind. Gue bisa jalanin hubungan tanpa harus go public. Gue tulus sama lo, atau lo mau ngabisin satu malam bareng gue? Please terima gue Yas”

Gadis dengan panjang rambut sepinggang itu memohon, tangannya mencoba meraih si pemuda dihadapannya.

Namun sebelum itu, si pemuda lebih dulu menghindar. “Dimata gue semua kesalahan termaafkan, kecuali pengkhianatan. Dan lo memohon supaya gue jadi salah satu bedebah pengkhianat?”

“Gue udah punya Ayana, dan gue gak akan ngelukain hati dia. Ga akan membuat dia kecewa”

Salah satu ujung bibir gadis itu terangkat, tersenyum merendahkan. “Lo yakin? apa dia gak berkhianat?”

Pemuda itu mengangguk, “Dia gadis lugu”.

Pemuda dengan name tag bertuliskan Yassar R itu memasukan kedua tangannya kedalam saku hoodie yang ia kenakan. “Juga, lo itu perempuan. Berharga dimata orang yang tepat, jadi gak usah merendah, apalagi menjalang didepan gue”.

Kemudian Yassar R berlalu, meninggalakan si gadis yang menatap kepergiannya dengan tatapan menyalang.

*

“RENA AWAS!” teriak salah satu pemuda diatas panggung.

BRAAKK!

Sebuah tiang besi menghantam lapangan, menimbulkan decitan nyaring. Semua orang yang berada diarea lapangan segera merapat.

Hiza Lanara, gadis itu meringis menahan ngilu pada tangannya. Jika bukan karnanya, sudah pasti Rena akan penyok tertimpa tiang besi itu.

“Hizaa! Kamu ga papa?”

“Ga papa kok” jawab Hiza, menyembunyikan tangannya.

Namun, seorang pemuda menarik tangan Hiza, “Ga papa gimana? Biru gini? Ayok aku anter ke UKS”

“Eh ga papa Arka, ini ga sakit kok” Hiza berusaha menahan pergerakan Arka, pemuda yang menariknya ke UKS.

“Kalo gak sakit justru lebih bahaya Hiza”, Arka mengalihkan pandangannya kepada Rena, “Tolong cariin es batu”

Didalam UKS …

“Za, kok bisa-bisanya si kamu kayak gitu”

Kening Hiza berkerut bingung, “Gitu gimana?”

“Nyelametin orang tanpa mikirin keselamatan kamu sendiri, itu tindakan konyol Hiza” wajah Arka terlihat memerah, pertanda bahwa ia sedang khawatir.

“Hahaha, ga ada yang konyol ketika kita berusaha untuk membantu seseorang Arka Zaidan. Apalagi orang itu Rena, my bestie” jawab Hiza membuat jemarinya membentuk love.

“Dih, dia juga belum tentu ngelakuin itu kalo posisinya tadi kebalik”

“Mulai deh, aku sayang sama mereka itu tanpa syarat. Ga harus mereka ngelakuin apa yang aku lakuin buat mereka, gimana pun, Rena itu sahabat terbaik yang Tuhan kasih ke aku” ketulusan terselip jelas diantara guratan wajah Hiza.

Arka mengusap puncuk kepala Hiza, menatap wajah gadis itu yang kini kian memerah.

“Mau deh punya pacar kayak kamu” ucap Arka, masih dengan mata yang saling menatap.

Sementara Hiza, sebisa mungkin ia menyembunyikan debaran jantungnya yang terasa bekerja lebih cepat. Tetapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa menahan lekukan manis pada bibirnya.

“Tapi yang versi cantik” lanjut Arka.

Perlahan, senyuman pada bibir ranum itu memudar. Tapi yang versi cantik katanya, lagi-lagi Hiza terpatahkan.

Benar kata orang, harapan adalah pernyataan paling kejam yang mecegah kita untuk berputus asa.

Tapi pada kasus ini, Hiza yang terlalu berharap, atau Arka yang memang bodoh karena menilai seseorang hanya dari visualnya saja?


***




Salam kenal,
Selembut permen kapas.
Dari Dara.

LITOST Where stories live. Discover now