Yang Patah

4 1 0
                                    

Mereka jadian!

Aruna menghela napas dalam. Memandang kosong pada sekitar hutan cemara yang lengang. Pikirannya jauh entah ke mana. Dan tiba-tiba ia berlari menuju pinggir pantai. Berteriak sekeras-kerasnya tanpa peduli segelintir orang yang menatapnya aneh. Sial! umpatnya.

Belakangan ini apa yang selalu ditakutinya menjadi kenyataan. Kina bersama Gantari. Dua orang yang tak bisa ia lukai hatinya. Dan ia hanya bisa diam tanpa harus berekspresi apa pun. Hal yang sebenarnya cukup sulit ia lakukan.

Laki-laki itu akan merasa lemah ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang berlawanan. Dimana tolak ukur kepedulian bersanding dengan keingintahuan. Ah, luka. Ia akan terluka nantinya. Dan itu memang akhir dari cerita ini.

Pernah terlintas di benaknya, bahwa ingin mengatakan tentang perasaan yang disimpan pada gadis pita biru, begitu Aruna menyebutnya. Namun, mengingat kenyataan bahwa mereka tidak dekat dan jarang sekali bicara, rasanya cukup aneh ketika ia tiba-tiba saja langsung mengatakan isi hatinya. Lagipula, itu bukat sifatnya.

Gengsi? Tidak bisa dikatakan begitu. Aruna hanya berupaya menjaga apa yang sudah tertanam pada dirinya. Konyol memang. Tapi, laki-laki bermata hitam tajam itu sangat menjunjung tinggi harga dirinya. Termasuk dalam urusan hati.

Ia ingat, hari itu setelah ujian berlangsung, Kina menghampirinya di ruang perpustakaan yang selalu ia datangi. Menatap tajam sebentar lalu tertawa renyah seperti Kina yang dikenalnya.

“Kau sudah dengar beritanya?”

Ia yang tengah membaca buku langsung meletakkannya asal di atas meja, lalu menjawab, “Berita apa?”

“Kau benar belum dengar?”

“Ya.”

“Aku jadian sama Gantari!” Kina tersenyum lebar.

Pada saat itu, ia memandang sendu, kemudian tersenyum tipis layaknya pita kaset. “Hm, selamat,” ucapnya dengan nada datar. Diambilnya lagi buku di atas meja, dan mulai membacanya.

“Aruna, kupikir kita akan saingan,” balas Kina, yang sontak membuatnya mendelik.

“Saingan untuk apa? Aku tidak menyukainya.”

“Kau masih saja berbohong.”

Aruna terdiam, memandang kepergian Kina dengan ekspresi luka. “Berbohong?”

“Aaaaarrrggghhh.”

Aruna berteriak lagi untuk mengusir sesak di dadanya. Beberapa hari ini, ia memilih di rumah. Menghabiskan waktu bersama buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan daerah. Atau bermain dengan sepupunya yang masih berusia tiga tahun. Ya, itu lebih baik, daripada harus ke sekolah dan membuat hatinya menjadi lebih patah.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Suara  seseorang yang dikenalnya membuat Aruna menoleh. Ia terkejut, lalu buru-buru mengubah ekspresinya.

“Tidak ada. Kau? Kenapa bisa ada di sini?” tanyanya, seraya memandang sipit pada gadis di depannya, Cika.

“Bisa saja.”

“Mengikutiku?” Aruna memicingkan mata, membuat wajah gadis itu memerah, malu.

“Enak saja. Kau pikir, kau siapa harus kuikuti segala? Artis? Cih, wajahmu jauh dari kata tampan.” Cika menyembur.

Aruna bergeming, mengangguk-angguk  beberapa kali, lalu berkata, “Kalau begitu, pergilah dari sini. Aku bosan melihat tampang menyebalkanmu itu.”

“Apa? Kenapa harus aku yang pergi? Kau saja sendiri.”

“Aku yang pertama kali datang.”

“Lalu memangnya kenapa? Pantai ini bukan milik nenek moyangmu, ya.”

“Nenek moyangmu, nenek moyangku juga. Bodoh!” Aruna berbalik, meninggalkan Cika yang masih tersulut emosi. Ia selalu tahu apa yang akan terjadi ketika bertemu gadis itu. Lebih baik mengalah, dan kembali menenangkan dirinya.

“Tunggu!” panggil Cika. Terdengar nada meminta kali ini.

“Ada apa?” balas Aruna tanpa membalikkan tubuhnya.

“Kau patah hati?”

“Tidak. Dan jangan bertanya hal yang aneh-aneh,” sahutnya setelah lama terdiam. Kembali ia berjalan menjauh dari Cika dengan langkah tergesa. Ia benci dengan gadis yang sering ikut campur urusannya itu. Dan lebih benci lagi ketika terkadang Cika bersikap peduli.

“Hei, kau tidak bisa bohong dariku, Bocah!”

Tak digubrisnya teriakan Cika. Ia hanya ingin sendiri dan mencari ketenangannya. Setidaknya untuk saat ini.

♥♥♥

“Kalian bertengkar?” tanya Gantari di suatu sore yang cerah.

Matahari masih tampak gagah meski mulai condong ke barat. Semilir angin laut yang amat disukai gadis itu terasa lebih menyejukkan. Cemara berbisik di antara riuh debur ombak yang menghantam bibir pantai.

“Tidak. Kenapa kamu bertanya begitu?” Kina balik bertanya. Memandang pada gadis berkuncir satu yang dihias pita biru di sampingnya.

“Kalian terlihat tidak bersama lagi.”

“Benarkah? Kelihatannya saja begitu. Kami hanya sama-sama sibuk. Kamu ‘kan tahu, sebagai anggota OSIS, aku juga mempersiapkan acara perpisahan sekolah nanti. Terlebih, minggu depan aku akan tanding basket. Jadi, ya, jarang main dengannya.”

Gantari mengangguk-angguk. Ada perasaan lega di hatinya. Beberapa hari ini, ia takut sekali ketika ingat pernah bertatap mata dengan Aruna sehari setelah ujian berlangsung. Ia merasa, mata hitam Aruna semakin mengelam dan seperti menyimpan dendam padanya.

“Ada apa?” Kina bertanya pelan.

“Tidak. Aku hanya berpikir, setelah ini akan bagaimana.”

“Bagaimana apa maksudmu?”

“Hubungan kita. Ayah tiriku pasti ingin aku kuliah di Jakarta. Dan kamu, pasti juga akan keluar dari kota ini, ‘kan?”

“Jangan dipikirkan. Jalani saja dulu. Lagipula, kenapa kita harus memikirkan yang belum terjadi? Hidup ini singkat, Gan, aku gak mau hanya merasa takut akan hari esok.” Kina tersenyum lebar. Membuat Gantari mau tak mau tersenyum juga. Menampilkan deretan gigi kawatnya yang kali ini berwarna biru. Warna kesukaannya.

Ini yang paling Gantari suka dari Kina. Laki-laki ramah yang mudah tersenyum, dan tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang terjadi. Pembawaannya santai, tetapi selalu memiliki perhitungan yang tepat. Berbeda dengan Aruna yang cenderung tak peduli, dan mengabaikan tanggapan orang lain tanpa memberi sedikit rasa tenang.

Ah, lagi-lagi ia membandingkan mereka berdua.

♥♥♥






Di Perpotongan Senja (Selesai)Where stories live. Discover now