45. Pilihan Ada di Tanganmu

108 33 9
                                    

Halooo maaf telat post. Lagi riweeeh.

Hehehehe.

Ah iya, kalau afa yg butuh jasa editing dan cover dm me yaaa.

==

45. Pilihan Ada di Tanganmu.

Kenapa kamu kembali lagi? Bukankah aku telah membebaskanmu dari mahluk buruk rupa dan penjara mengerikan?” – Beauty and The Beast.

“Aku harus berhenti bermimpi—“ Rebecca terus memukulkan telapak tangan pada pipinya. “Bangun Becca, bangun—“

“Semalam dan hari ini bukanlah mimpi, Becca.” Edgar menahan telapak tangan Rebecca, lalu mengecupnya lembut. “Aku, sosok yang nyata. Tubuhku nyata.” Edgar membawa tangan Rebecca menyentuh dadanya.

Napas Rebecca kian memburu. Bayangan dia bergelung dan menangis hingga terlelap di dada Edgar memacu degup jantungnya kian cepat. Dia beberapa kali menggeleng, mencoba mengusir bayangan kejadian semalam yang tergambar jelas dalam ingatannya kini.

“Semalam kamu telah menyetujuinya,” tambah Edgar, “dan berjanji tidak akan berubah pikiran.” Edgar memeluk pinggang Rebecca.

“Tunggu!” Akal sehat Rebecca seakan berhasil keluar dari lingkup degup hati dan euforianya. “Tapi untuk apa pertunangan ini?” tanyanya.

Edgar sadar, tidak akan mudah meyakinkan Nona Penyihir, tetapi dia sudah siap. “Aku ingin berada di sisimu, memastikan tidak ada yang akan bisa melukaimu.”

Rebecca tersadar, semua Edgar lakukan setelah dia melihat kejadian kemarin. “Kamu melakukan ini untuk membantuku melunasi utang dengan pamanku?” Rebecca lalu menggeleng kuat. “Dengar, jika kamu melakukan ini demi janjimu pada Anastasia. Aku—“

Bibir Rebecca terkunci dengan ciuman Edgar. Bukan sebuah ciuman sederhana, melainkan ciuman yang mengempaskan semua akal sehat Rebecca berganti pada harap dan hasrat. “Ed...gar,” bisik Rebecca lirih.

Edgar tersenyum lebar saat melepaskan pagutannya. Dia menatap mata berkabut Rebecca serta bibir yang membengkak. “Salah satu alasan pertunangan ini memang untuk menghentikan pamanmu yang hendak menjodohkanmu dengan teman-teman berengseknya. Dan aku memang membutuhkan tunangan.” Edgar mengumpat di dalam hati. Apa yang terucap, berbeda dengan apa yang telah dia susun sedari semalam.

“Kamu membutuhkan tunangan?” tanya Rebecca. “Dan kamu pikir aku perlu seorang tunangan?” Rebecca melepaskan diri dari pelukan Edgar, membuat jarak antara mereka.

“Tentu saja, dan kita akan saling melengkapi.” Edgar menekan rahangnya erat. Sial! Tidak seharusnya dia berkata ketus. Edgar berdeham, dia mencoba memperbaiki keadaan. “Selain itu, aku telah menyelidiki mengenai utang-utang ayahmu—“

“Untuk apa kamu menyelidiki mengenai utang keluargaku!” Rebecca berang juga malu. Dia tidak ingin Edgar mengetahui betapa banyak utang yang telah mencekik lehernya selama ini. Lagipula Rebecca ingin menjaga nama ayahnya tetap baik di mata semua orang. Meski tentu saja sudah tidak mungkin. Kabar sudah tersebar luas. Belum lagi, jika mereka tahu mengenai kematian ibunya yang akibat dari over dosis obat tidur.

“Dengarkan aku Becca,” pinta Edgar. “Apa kamu tidak merasakan keanehan dalam persoalan utang ayahmu?”

Alis Rebecca berkerut. Apalagi yang aneh tentang utang ayahnya, selain kenyataan bahwa ayahnya, sang baron terlalu tidak kompeten dalam mengelola keuangan.

“Sebelum ayahmu meninggal apakah dia pernah menunjukkan memiliki begitu banyak masalah keuangan?” Pertanyaan Edgar dijawab dengan gelengan kepala Rebecca. “Pernahkan orang-orang itu datang menagih utang saat ayahmu belum meninggal?” tanya Edgar lagi. Rebecca kembali menggeleng. “Dan lucunya, semua utang-utang itu jatuh tempo pada saat ayahmu telah meninggal. Jadi tidak ada saksi, tidak ada pembelaan yang bisa dilakukan.”

Beast Broken MaskWhere stories live. Discover now