Bab 16 : Jagung Rebus

1.5K 94 5
                                    

16. Jagung Rebus

'Ternyata bahagia itu cukup sederhana. Hanya berdamai dengan keadaan, akan tercipta rasa bahagia yang tak terkira.'

~Kalam Cinta Pak Tentara~
Story by Ifa Arifa

Sejak malam dimana aku dan kak Faren saling memberikan dan mendengarkan penjelasan. Saat itu juga aku kembali pulang ke batalyon. Sebenarnya aku malas jika harus kembali ke sana. Bukan karena tanpa alasan, tapi memang aku tidak suka dengan ibu-ibu yang berusaha membandingkan aku dengan orang lain. Juga malas jika harus bertemu dengan Lettu Danisa.

"Assalamualaikum pak Mamat."

Aku hanya memberikan senyuman tipis kepada penjual jagung rebus itu. Pria paruh baya itu terlihat bingung, saat kak Faren menyalaminya. Aku mengikuti apa yang dilakukan oleh kak Faren.

"Waalaikumsalam, sek-sek aku kok lali karo awakmu." (Sebentar-sebentar aku kok lupa sama kamu.)

Kak Faren hanya menanggapinya dengan senyuman saat melihat wajah kebingungan pak Mamat. Dia langsung duduk lesehan.

"Alfa, pak. Masak lupa sama saya?" ujar kak Faren membuat pak Mamat mengetukkan jari telunjuknya ke dagu. Seolah sedang berpikir keras.

"Alfa, Alfa, Alfa." Gumamnya sambil terus mengingat nama Alfa.

Setelah berpikir cukup keras, pak Mamat melebarkan matanya sambil tersenyum. Pria paruh baya itu ikut duduk lesehan bersama aku dan kak Faren.

"Wah, bapak lagek ileng. Awakmu sing biyen senengane tukaran kuwi leh? Ndelek neng gerobak bapak, pas digodak karo bapakmu?" (Wah, bapak baru ingat. Kamu yang dulu suka berantem itukan? Sembunyi di gerobak bapak, waktu di kejar sama ayahmu?)

Aku hanya menyimak percakapan mereka, sesekali mereka saling melemparkan candaan dan tertawa bersama.

"Iki sopo? Bocah kok ayu men." (Ini siapa? Kok cantik sekali.)"

Aku hanya menanggapi ucapan pak Mamat dengan senyuman canggung. Aku memang bisa berbahasa Jawa, jadi aku mengerti apa yang diucapkan oleh pak Mamat. Kak Faren menarik tanganku untuk dekat dengannya. 

"Dia istri saya pak."

Balas kak Faren sambil mengelus rambutku dengan lembut. Please, bukannya lebay tapi jantungku berdetak dengan kencang. Aku memang belum terbiasa dengan sikap manis kapten ini.

"Pinter men awakmu nek golek bojo. Oh yo, saiki kerjo opo?" (Pintar sekali kamu kalau cari istri. Oh ya, sekarang kerja apa?)

"Saya jadi tentara pak."

Percakapan mereka berlangsung lama. Aku hanya diam menyimak dan jika ditanya maka aku akan menjawabnya.

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pak Mamat juga melayani pembeli lain. Alhasil aku dan kak Faren menikmati jagung rebus buatan pak Mamat.

"Dulu memangnya sering ke sini kak?" tanyaku dengan sesekali meniup jagung yang panas ini.

Kak Faren mengangguk sebagai jawaban. "Kamu enggak bawa jaket?" tanyanya membuat aku menggelengkan kepala.

Saat sedang asyik memakan jagung rebus, aku merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhku. Terasa hangat, dengan senyuman manis aku perlihatkan untuknya.

"Seharusnya tadi saya mengingatkan kamu kalau udara malam tidak baik untuk kesehatan. Maaf." Aku menatapnya dengan cengo. Kenapa dia minta maaf? Ini hanya soal tidak membawa jaket kan? Kenapa dia seperti orang bersalah gitu?

"Maaf diterima." balasku dengan cengiran lebar, membuat dia  mengelus rambutku dengan lembut. Aku menatapnya tanpa berkedip, ternyata suamiku ini sangat tampan bila dilihat dengan jarak yang sangat dekat.

"Rambutmu ini sangat indah, tapi lebih indah lagi jika kamu menutupinya. Dan hanya saya saja yang dapat melihatnya." Ujarnya dengan nada berat serta tersenyum dengan begitu tulus.

Aku terbius oleh senyumannya itu, bahkan aku masih mematung belum menjawab perkataannya tadi. Sungguh ini tidak baik untuk kesehatan jantungku.

Bukannya aku tidak paham dengan apa yang dikatakannya. Aku paham dan aku sangat mengerti.

"Akan aku usahakan." balasku setelah berdehem pelan guna menetralkan rasa gugup.

"Besok kita ke rumah mama ya?" Aku mengalihkan pandanganku dan mengangguk pelan.

Setelah itu tidak ada pembicaraan diantara kami. Aku menatap kak Faren yang sepertinya sedang memikul beban berat. Dilihat dari tatapannya terlihat kosong ke depan. Dia memang ada disini, tapi pikirannya entah melayang kemana.

"Mas" panggilku sambil menyentuh lengannya. Dia tersenyum tipis seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan.

"Kenapa? Lagi mikirin apa sih? Kok wajahnya kayak gitu?" aku menatapnya dengan lekat. Dia mengambil tanganku dan digenggamnya dengan erat.

Kak Faren mencium punggung tanganku dengan lembut, hal itu sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku lagi dan lagi. "Saya juga tidak tahu, dek. Akhir-akhir ini saya seringkali kepikiran mama."

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Bahkan jantungku rasanya sudah ingin keluar dari tempatnya. Panggilan itu masih teriang-ngiang di pendengaran ku. Sederhana tapi memiliki makna mendalam.

"Besok kita kesana ya. Lihat mama, sudah lama saya tidak kesana, dek." Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawaban.

"Kenapa manggil aku dek?" Tanyaku dengan sedikit penasaran.

Dia mengerutkan keningnya, pertanda bahwa bingung dengan pertanyaanku. "Kan kamu manggil saya mas. Jadi ya saya balik manggil kamu dengan sebutan dek. Kenapa? Enggak suka ya?" tanyanya membuat aku gelagapan.

Aku menggelengkan kepala dengan pelan, "Bukan enggak suka kak. Tapi demage nya itu lho." Ujarku dengan dramatis membuat dia tertawa pelan.

Alunan tawanya terdengar begitu merdu. Bahkan seperti nikotin yang bikin candu.

"Saya lebih suka ketika kamu manggil saya dengan sebutan mas." Ucapnya dengan tegas setelah menghentikan tawanya.

Aku mengangguk pelan, "Baik mas." putusku membuat bulan sabit terbit di wajahnya.

Malam ini, memang akan menjadi malam paling bersejarah untukku dan kak Faren. Maaf ralat, mas Faren. Dia memang sempurna, bahkan seharusnya dia tidak pantas bersanding dengan aku yang notabenya hanyalah gadis biasa. Diluar sana banyak wanita cantik yang mengantri untuk dijadikan istri. Sementara aku? Mendapatkannya tanpa harus berjuang. Hanya karena sebuah perjodohan konyol, aku dan dia bisa bersama dalam ikatan suci pernikahan.



Assalamualaikum,
Selamat malam semua,
Terima kasih untuk kalian yang sudah menyempatkan waktu demi membaca Kalam Cinta Pak Tentara.

Terima kasih juga untuk kalian yang sudah membaca cerita ini dari awal. Tidak ada kata lain selain kata terima kasih dan terima kasih.

Jika cerita ini mengandung manfaat, boleh lah ajak teman kalian untuk membaca cerita ini.

See you next chapter!

Salam manis

Kalam Cinta Pak Tentara (Segera Terbit) Where stories live. Discover now