Chapter 1

15.1K 2.1K 219
                                    

Haloo... setelah empat bulan hiatus, akhirnya bisa kembali menyapa kalian lagi dengan cerita baru 💃🤗 Seluruh tokoh di cerita ini baru ya, nggak terkait dengan universe Xander ataupun Hardyantara. Benar-benar baru dan belum pernah muncul di ceritaku yang mana pun.

Semoga kalian enjoy mengikuti seluruh drama di kisah yang nanti akan disuguhkan 😌😌

Happy Reading


***
Sambil memeluk sebuah pigura berisi foto putri kecilnya, tetesan bulir bening Lusi masih setia membasahi pipi sampai hari ini. Sepasang mata itu tampak sembab dan kosong, sesekali ia akan menunduk sambil menyusurkan jemarinya pada setiap inci benda mati itu, menatap penuh kerinduan pada sosok putrinya yang entah di mana, masih hidup atau mungkin sudah di pangkuan Sang Pencipta. Tanya itu berulang kali menggaung di kepala, ia kesulitan untuk merelakan kepergiannya yang meninggalkan luka terbesar bagi keluarga ini. Sebagai Ibu, Lusi merasa gagal untuk menjaganya. Ia amat terguncang, hingga tak terhitung berapa kali harus menemui psikiater selama setahun penuh untuk memulihkan mentalnya—kala itu.

Seberapa banyak curahan, doa, dan tangisan yang diraungkan di atas sajadah, Tuhan tetap tidak mengembalikan. Polisi pun tidak berhasil menemukan keberadaannya setelah berbagai upaya pencarian dilakukan. Putrinya yang saat itu baru berusia lima tahun, menghilang tanpa jejak. Dan tepat hari ini, tiga tahun sudah dirinya kehilangan Latisha Zevanya Ganuardi—anak kedua sekaligus anak bungsunya dari dua bersaudara.

Dari balik pintu, putra sulungnya yang hanya dua tahun lebih tua sudah paham betul kesedihan sang Ibu, sehingga dia hanya mengamati diam-diam dan tak ingin mengganggu.

Devin Narendra Ganuardi baru menoleh saat Papanya—Indra Ganuardi menyentuh pundaknya dengan lembut, tersenyum walau tak sampai mata, lantas menatap Istrinya yang masih terduduk lemah di atas kasur sambil memeluk sebuah pigura.

"Mama nangis lagi, Pa," kata Devin parau, sedih melihat Ibunya yang belum menyurutkan tangisan. "Mama merindukan adek."

"Mama akan baik-baik saja, Nak, jangan khawatir. Dia wanita hebat." Beliau membelai lembut kepala putranya, menenangkan. "Lebih baik Devin turun dan tunggu di bawah. Kami akan segera menyusul."

Tanpa bantahan, Devin menuruti, sementara Indra menghampiri Lusi yang kini dengan sigap mengusap air matanya sendiri saat merasakan kehadiran Sang Suami tengah mendekati.

Indra duduk di samping Lusi, mengusap pundaknya seolah memberi kekuatan. "Ma, mobil sudah siap di bawah. Devin juga sudah menunggu kita. Apa Mama sudah lebih tenang?"

Lusi mengangguk-angguk, walau hatinya masih digelayuti sesak yang terbungkus pekat. "Sudah, Pa, sudah. Maaf, Mama malah menangis lagi. Kalian pasti nunggu lama."

Indra membawa tubuh Istrinya ke dalam pelukan saat getar suara itu tidak mampu menutupi kesedihan. "Apa perlu kita tunda dulu pertemuan ini? Jika Mama belum siap, kita bisa menemui mereka di lain waktu."

Dengan cepat, Lusi menolak dan mendongak menatap suaminya sengit. "Tidak, Pa, tolong jangan ditunda. Aku ingin kita pergi sekarang. Aku sudah sangat siap memulai lembaran baru. Kita sudah memikirkan rencana ini selama berbulan-bulan."

"Aku hanya tidak ingin Mama merasa terbebani."

"Tolong, Pa, hanya dengan pengganti dari Latisha yang mungkin bisa mengobati kehilangan ini. Aku ingin jadi seorang Ibu dari anak perempuan lima tahun lagi, aku ingin setiap pagi menyiapkan sarapan, pakaian, dan menyisir rambut panjangnya sebelum berangkat ke sekolah." Tanpa jeda ucapan itu terlontar, Lusi lantas meremas dadanya yang terasa nyeri. "Aku—aku merindukan momen itu, dan aku tidak akan menundanya lagi. Latisha akan mengerti, Pa, walau sampai kapan pun dia tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun!"

Broken RingsDonde viven las historias. Descúbrelo ahora