9 : Greedy

1.5K 320 48
                                    

Setahu Hinata, orang yang memegang pistol hanyalah polisi. Selain itu, mereka yang tidak memiliki kewenangan memegang senjata api dipanggil penjahat.

Suaminya bukan polisi, dan Hinata enggan menyebut poin kedua.

'Naruto bukan penjahat, kan?'

Pertanyaannya tidak memiliki waktu untuk dijawab saat suara pekikan terus berlanjut. Hinata menggulir pandangan pada asal suara, seorang pria bermasker terjatuh di lantai marmer dengan darah mengalir dari dada. Sontak Hinata terkejut. Tubuhnya bergetar hebat, kembali berteriak saat darah di sana membentuk genangan. Lantai marmer yang awalnya bersih mengkilap, kini berubah menjadi lautan darah dengan seonggok mayat.

Pria bermasker di sana berhenti menggeliat saat terdengar bunyi tembakan lagi.

Dor! Dor!

Naruto menembak kepalanya dua kali, memastikan dia benar-benar mati. Namun, yang seolah ingin mati adalah sang istri.

Pria itu menggenggam pistolnya di samping tubuh sembari menatap satu nyawa yang luruh. Kepalanya memiliki dua lubang, darah mengalir dari sana dan dadanya. Naruto tidak peduli jika rumahnya dibanjiri lautan darah, marmer mahal tujuh meter di depannya pun tak lagi menarik sebab ditiduri seseorang yang mati.

Sekali lagi, Naruto tidak sedikitpun peduli. Ini bukan kali pertama ada seseorang yang mati disini.

Ia berjalan mendekati istrinya yang masih terduduk di lantai. Satu detik kemudian, Hinata mengabaikan uluran tangannya dan memilih menatapnya dalam ketakutan. Tubuh gadis itu bergetar, air matanya menggenang, pangkal pahanya berusaha bergeser menjauh darinya.

Ah, Naruto lalai akan yang satu ini.

Sebuah konsekuensi atas pengeksekusian di hadapan orang suci.

"K-kau membunuhnya?"

Naruto diam.

"B-bagaimana kau bisa memiliki pistol?"

Satu embusan napas keluar dari hidung Naruto. Pria itu sedikit membungkuk di depan istrinya. "Nanti akan aku jelaskan. Semuanya sudah aman," ujarnya lembut, meski pertanyaan Hinata jelas menuntut. "Yang perlu kau lakukan hanyalah percaya jika aku tidak akan menyakitimu, Hinata."

Napas Hinata sesak. Setengah bagian dari dirinya memaksa percaya, bahwa Naruto memang tidak seperti yang ia pikirkan——bagian itu bernama perasaan. Namun, bagian lain bertajuk logika menolak keputusan perasaan. Logikanya tidak dapat berdusta, bahwa Naruto menjadi objek dari seluruh prasangkanya.

Hanya saja, saat ini Hinata tidak memiliki pilihan lain selain percaya.

"Ayo, kita tetap harus keluar."

Hinata berdiri dengan bantuan Naruto, sudut matanya melirik mayat di samping sofa. "T-tapi pencurinya sudah ... mati."

"Kita tidak tahu ada berapa banyak pencuri yang masuk rumah." Tidak mungkin hanya satu yang masuk, itu merupakan tindakan ceroboh. Pasti ada dua atau tiga orang lagi di dalam rumahnya dengan posisi terpencar. Sebenarnya, tiga orang bukanlah jumlah yang membuat Naruto gentar. Pria itu bisa mengatasinya dengan mudah, namun tidak menjamin keselamatannya sebab harus melindungi istrinya juga.

Naruto berjalan mendekati mayat itu untuk mencari kunci, tidak jijik sedikitpun meski tangannya terkena noda darah. Tak lama setelah tangannya merogoh jaket penyusup itu, ia menemukan sebuah kunci——berwarna merah sebab dilumuri darah. Bajingan-bajingan sialan itu terlalu kreatif untuk menduplikat kunci rumahnya. Tapi untunglah,

Dewi Fortuna sedang berpihak padanya.

Sebelah tangan Naruto memegang pistol, sementara satu tangan lainnya memutar kunci. Hinata masih bersembunyi di belakangnya, pria itu hanya waspada bila ada musuh yang tiba-tiba menyergap mereka di depan pintu.

Sacrifice [ END ]Where stories live. Discover now