Putrimu Penggantimu

1.1K 33 0
                                    

***

Tahun 2006

Guyuran hujan yang sangat deras menyamarkan suara ketukan Ridan di pintu rumah ibu kosnya. Angin kencang membawa hawa dingin menusuk kulit. Bayi dua tahun berbalut jaket kulit menggigil kedinginan dan menangis kelaparan dalam gendongan Ridan. Dia butuh pertolongan.

Ridan semakin menggedor pintu kayu bercat pernis kusam di depannya. Malam telah larut. Mungkin penghuninya sudah tidur. Tak ingin menyerah, Ridan menggedor lagi.

Ridan lega. Seorang ibu berbadan subur membuka pintu. Rambutnya acak-acakan seperti surai singa jantan. Sepertinya baru bangun tidur. Mata ibu kos itu tampak terkejut mendapati anak kosnya membawa bayi.

"Ya ampun, Ridan! Ini anak siapa?"

"Bu, tolong gantikan pakaiannya. Tolong kasih susu juga. Saya mau ke kos ganti pakaian."

"Iya, tapi ini anak siapa?" Ibu Ratri, si ibu kos mengulang pertanyaannya.

"Nanti saya ceritakan." Setelah bayi dua tahun itu berpindah tangan beserta tas perlengkapan, Ridan berlalu ke kamar kosnya yang berada di belakang rumah Ibu Ratri.

Laki-laki blasteran Turki itu berganti pakaian kemudian membersihkan kamar yang berantakan karena ditinggal buru-buru. Seprai kasur single diganti dengan yang bersih. Sampah di pindah ke depan pintu. Lantai disapu dan dipel.

Tidak boleh ada bau busuk dan debu. Harus steril lantaran mulai malam itu ada penghuni baru di kamarnya. Bayi berumur dua tahun. Anak mantan kekasihnya yang dia culik.

Setelah semuanya beres dan hujan pun reda, Ridan menjemput bayi yang belum dia beri nama itu. Tepatnya belum dia ganti namanya.

"Sudah tidur, biarkan saja di sini besok baru kamu ambil," cegah Ibu Ratri. Dia sangat baik terutama pada Ridan, karena laki-laki itu tidak pernah terlambat bayar kos bahkan terkadang cepat.

"Terima kasih, saya tidak mau merepotkan, Bu."

"Kamu ini, tadi buru-buru minta tolong, sekarang buru-buru diambil lagi. Kamu utang cerita sama ibu, lho, ya."

Ridan menjawab dengan anggukan, kemudian kembali ke kamar kos tujuh meter persegi yang dihuninya sejak setahun lalu, membawa bayi menggemaskan. Bayi itu diletakkan perlahan ke atas kasur, lalu ditepuk-tepuk bokongnya hingga tenang.

"Ashilla … Calista." Sebuah nama cantik tercetus di benak Ridan. "Ashilla Calista, itu namamu sekarang." Ridan berbicara pada bayi yang tidur.

Tubuh lelahnya dibaringkan terlentang. Lurus-lurus. Penat di badan tak sebanding penat di hati. Ridan menatap langit-langit kamar. Pikirannya tertuju pada mantan kekasihnya.

Perempuan itu pasti menangis gila, menderita, dan hancur karena kehilangan putrinya. Namun, menurut Ridan itu sepadan dengan kesakitannya.

Bermodalkan beasiswa, Ridan hijrah ke ibu kota negara. Serius kuliah agar bisa lulus tepat waktu, dia pun sambil bekerja supaya bisa menabung uang untuk modal melamar sang kekasih. 

Dan setelah lulus, memiliki pekerjaan bagus di salah satu perusahaan besar, Ridan pulang ke Kolaka. Dia berniat memenuhi janjinya melamar Nur Farida, kekasihnya.

Namun, kenyataan yang didapat membinasakan harapannya. Nur Farida telah menikah dan memiliki seorang putri. Padahal Ridan meminta kekasihnya itu menunggu hanya lima tahun.

Baru empat tahun lebih Ridan kembali ingin menepati janji, tapi sang kekasih telah mengkhianati. Memilih lelaki lain sebagai pendamping.

Ashilla menggeliat. Ridan mengusap punggungnya agar terlelap lagi. Dia pun kasihan pada bayi itu, akan tetapi semua sudah terlanjur. Kini Ashilla bersamanya di kota metropolitan.

Tidak mungkin lagi dikembalikan pada orang tuanya. Apa lagi mengingat perjalanan jalur laut dan darat yang ditempuh sangat melelahkan. Ridan sengaja tidak menggunakan moda transportasi pesawat karena butuh kartu keluarga untuk membeli tiket. Sementara dia tidak punya kartu keluarga Ashilla.

"Salahmu sendiri Rida, kamu mengkhianatiku. Sekarang putrimu yang akan menggantikanmu. Aku yakin dia akan tumbuh menjadi gadis cantik sepertimu." Ridan bergumam sendiri.

Menculik anak mantan kekasih untuk menggantikan posisi ibunya tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ide itu muncul ketika Ridan pergi ke pasar malam, melihat Ashilla bermain di rumah-rumah balon. Wajah imut nan menggemaskannya menarik hati Ridan.

Ketika Nur Farida–ibu Ashilla–pergi entah ke mana mungkin membeli sesuatu, Ridan mendekati Sultan–ayah Ashilla–mengajaknya mengobrol.

Karena kebelet, Sultan menitipkan anaknya pada penjaga rumah-rumah balon lalu tergesa pergi. Sultan lama tak kembali begitu pun Nur Farida, hingga durasi bermain anak-anak habis, mereka masing-masing diambil orang tua dan tertinggallah Ashilla sendiri.

Ridan mendekat dan membujuk Ashilla menggunakan mainan agar mau padanya. Kesempatan itu dia gunakan membawanya pergi di tengah riuh musik pasar malam.

***

"Ridan! Ridan! Buka pintunya!" Teriakan dan gedoran di pintu mengharuskan Ridan beranjak membukanya.

"Rida? Kamu kenapa ada di sini?" tanya Ridan kaget. Tidak mungkin dia ketahuan secepat itu.

"Anakku di mana? Putriku di mana? Tolong kembalikan!" Nur Farida bersimpuh, memohon-mohon.

"Tidak akan! Dia harus menggantikanmu!" Ridan menolak. "Kamu penghianat!"

"Maafkan aku, Ridan. Jangan ambil putriku. Dia hidupku. Aku bisa mati tanpanya." Nur Farida menangis tersedu-sedu.

"Pergi! Aku muak melihatmu! Pengkhianat!"

Nur Farida berdiri, melayangkan telapak tangan ke pipi Ridan kemudian pergi. Laki-laki itu memegang pipinya. Sakitnya terasa nyata. Suara tangisan pun kenapa terdengar amat dekat di telinga padahal mantan kekasihnya sudah pergi.

"Aduh!" Sekali lagi sebuah tamparan mendarat di wajahnya. Ridan tersentak bangun. Ternyata tadi cuma mimpi.

Ashilla duduk di dekat kepalanya, menangis kencang karena lapar. Sepertinya bayi itu juga yang menamparnya.

"Ashilla, kenapa, Sayang?" Ridan menggendongnya dan langsung menjauhkannya. Bau. Ashilla buang hajat.

Drama merawat bayi pun di mulai. Ashilla terus menangis saat dibersihkan sekalian dimandikan. Dia mendekap Ridan sehingga baju lelaki itu basah. Ashilla terus saja meronta, tidak mau dipakaikan baju.

Bayi itu menangis meminta susu, sementara Ridan baru menjerang air. Dan Ashilla tenang setelah mendapatkan apa yang dia mau.

Ridan berbaring. Dia membayangkan hari-harinya akan dipenuhi tangisan Ashilla membuatnya bergidik. Tapi, dia tidak mau terlalu memikirkan itu.

Yang perlu Ridan pikirkan sekarang bagaimana cara menjaga Ashilla sementara dia harus bekerja. Tidak mungkin membawanya serta. Atau … haruskah meminta tolong pada Ibu Ratri menjaga Ashilla dan memberikan uang imbalan jasa. Ya, itu pilihan tepat.

Soal janjinya akan bercerita pada ibu kos itu gampang. Ridan cuma perlu mengulang kebohongan selama perjalanan. Ketika ada yang bertanya di mana ibu Ashilla, jawabannya sudah meninggal dan ayahnya entah pergi ke mana.

Cerita palsu itu sukses menarik simpati teman perjalanan sehingga banyak yang membantunya, apalagi melihat Ashilla yang menggemaskan. Hampir semua orang senang melihatnya.

Perut keroncongan. Tanpa ritual mandi, Ridan pergi mencari makanan setelah menitipkan Ashilla ke ibu kos. Tentunya dengan sogokan seporsi lontong sayur.

Di tengah belantara beton, Ridan berjalan kaki mencari penjual makanan. Suara klakson bersahut-sahutan. Bising. Asap knalpot bercampur asap rokok pejalan kaki, memenuhi udara. Lengkap sudah, polusi suara dan polusi udara.

Ridan pulang membawa dua porsi makanan. Dia mengambil Ashilla dari Ibu Ratri untuk diberi makan. Tidak sampai semenit berdiri mengambil air minum, Ridan syok saat berbalik. 

Tubuh Ashilla bermandikan kuah kuning lontong sayur. Bahkan dengan sengaja bayi itu mengusapkan ke wajahnya sambil tertawa-tawa lucu. Derita Ridan berlanjut. Niat hati menghukum mantan kekasih, malah diri sendiri terkena getahnya.

Membesarkan Calon IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang