Prolog : Kelahiran

43 1 1
                                    


Aliran air bercampur dengan cairan merah. Beberapa tubuh yang tergenang dan mengambang di atas kolam. Kolam air terjun yang tadinya dingin biru menjadi dingin yang abu. Air yang jatuh menjuntai derasnya menjadi saksi kejadian besar yang membawa nasib untuk bumi pertiwi kedepan.

Diantara tubuh-tubuh yang tergenang seorang wanita cepat-cepat bangkit dengan beberapa lubang merah yang tertempel di tubuhnya. Ia berjalan tertatih-tatih ke arah batu yang terbelah yang berada di belakang derasnya air jatuh. Tertampak seorang bayi perempuan tertidur pulas ditengah belahan batu besar.

Matanya yang kecil nan mungil perlahan terbuka. Biru menyala yang sesaat. Tak lama kemudian semua hal indah itu tergantikan menjadi coklat nan hitam. Bayi itu melihat sang wanita, sunggingan senyum hangat bagaikan matahari terbit ia berikan padanya.

Tiba-tiba...

DUAR!!!

Suara ledakan besar kembali terdengar. Suara ini berasal dari luar tempat ia berada, ditempat teman-temannya melayangkan kepalan, mengayunkan pedang, dan juga merapalkan mantra. Mereka berusaha melindungi sang legenda dan sang personel garda.

Sang wanita itu segera mengambil sang bayi itu lalu melesat pergi kedalam hutan. Sebelumnya, sang wanita sempat mengambil satu serpihan kecil dari batu biru besar yang tersebar di kolam.

Beberapa tapakan telah di pijakkan. Matahari telah tergantikan dengan bulan. Pohon-pohon hitam bernyanyi dan menari disekitar. Tetesan-tetesan air ghaib mengikuti dengan menyentuh dan meraup peluhnya dan juga rasa takutnya.

Cekam

.

Hitam

.

dan.. Malam

Satu,dua langkah dipijakkan. Ia tumbang ,dengan satu tangan yang ia tahan untuk tidak tumbang sepenuhnya. Energi yang tersisa tak cukup untuknya. Kulit pohon yang dingin disampingnya merayunya itu tidur diatasnya. Ia pun bersandar di pohon dekatnya .

Sang wanita melihat keatas sesaat, lalu ia alihkan pandangannya ke arah sang bayi.

Usapan demi usapan pelan pada kepala sang bayi ia lakukan untuk ketenangan dan juga sebuah rapalan.

"Kanjeng Papat Putri Rahayu. Bumi Pertiwi kulo pasrahaken panjenengan. Dunya niki sampun luruh air mripat amargi bebaya kang sampun ningali tanda-tandane. Kawula patang garda, reinkarnasi papat, nyuwun tulung ayomi bumi pertiwi niki."

(Kanjeng empat Putri Rahayu. Bumi aku serahkan padamu. Dunia telah meneteskan air mata atas bahaya yang telah terlihat tanda-tandanya. Saya empat penjaga, empat reinkarnasi, meminta bantuan Anda untuk melindungi bumi ini.)

Sang bayi menatapnya dengan mata yang berbinar. Kedua tangan sang bayi menyentuh hidung sang wanita, seperti menjawab apa yang diucapkan. Lalu arah tangan sang bayi meremas salah satu sisi dadanya. Lubang merah yang kering yang ada disekitarnya terbuka kembali dan mengeluarkan cairannya. Ia sedikit meringis kesakitan, ia mencoba mengalihkan tangan sang bayi ke arah lain namun tak berhasil. Suara tangisan keras sang bayi keluar seketika memenuhi sekitaran hutan. Setiap makhluk yang ada di hutan pasti akan mendengarkan tangisan sang bayi.

Tak lama kemudian...

Sebuah cahaya kuning menyorotnya. Seorang lelaki jakun berdiri di depannya yang jaraknya tak jauh darinya. Ketika sang lelaki itu mendekat sang wanita cepat-cepat menyerahkannya serpihan permata biru dan juga sang bayi. Sebelumnya ia menatap sendu kepada sang bayi lalu lanjut berkata,"Jaga bayi ini. Bayi ini adalah anugerah bagi bumi pertiwi ini,....Uhk...uhk," ia menutupi mulutnya dan seketika beberapa cairan merah ada ditelapaknya.

Sang laki-laki tertegun sesaat, menemukan wanita, lalu diberi seorang bayi dan juga sebuah serpihan batu bercahaya tiba-tiba.

"Permata it-u juga tol-ong dija-ga...,"

"...Ini dapat melindungi beliau hingga akh-hirnya. To-long jaga beli-au karena dunia da-lam bah-."

Belum sempat sang lelaki bertanya kepadanya, sang wanita ambruk di hadapannya diikuti satu hembusan napas pelan yang terdengar.

Sang lelaki lalu memandang bayi digendongannya penuh tanya, lalu beralih ke serpihan batu bercahaya yang ada di lain sisi tangannya.

.

.

.


ANDHITA : KEBANGKITAN KEEMPATWhere stories live. Discover now