Part 3 || Serba Baru

38.7K 1.1K 268
                                    

"Ini Mas" Fio menyodorkan secangkirgreen tea yang masih mengepul ke arahku. Aku meniupnya sebentar sebelum menyesap sedikit demi sedikit. Panas dan sedikit sepat yang dirasa oleh indera pengecapku merupakan rasa favoritku. Entahlah, rasa yang mungkin bagi sebagian orang Indonesia -bahkan Fio- tidak menyukainya. Aku jatuh cinta pada rasa ini saat aku mengikuti jamuan upacara minum teh ala Jepang yang diselenggarakan oleh sekolahku, dan sejak saat itu aku mulai ketagihan rasanya.  

"Kamu mau?" Tawarku pada Fiona yang tengah menatapku, mencoba menggodanya karena Fio tidak menyukai rasa favoritku.

Ia menggeleng pelan. "Mas aneh deh, sukanya yang pait-pait." 

"Hidup juga pahit sayang. Itung-itung buat latihan jalanin hidup." Aku terkekeh sendiri dengan jawaban sok bijakku itu yang dihadiahi oleh istriku dengan dengusannya.

"Sini." aku menepuk sampingku yang kosong. Fio mengikuti instruksiku untuk duduk di sebelahku. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku dan kemudian menyandarkan kepalanya di dadaku.

Hening. Tak ada pembicaraan diantara kami. Aku  memejamkan mataku, merasakan sebuah perbedaan besar yang menyesakkan dada. Dulu Fio ada gadis periang, dia suka sekali bercerita mengenai apapun. Tentang keluarganya, kuliahnya, pria-pria yang mendekatinya, bahkan bercerita mengenai keseharian kucing peliharaannya. Biasanya aku akan menatap Fio yang selalu bersemangat saat bercerita. Semangatnya itulah yang membuatku dulu tak bisa berkedip dan jatuh hati padanya, bagaimana ia menasihatiku mengenai bahaya rokok untuk diriku dan juga orang-orang di sekitarku saat aku menghisap rokok di taman kampus. Bahkan saat itu kami belum terlalu kenal, meskipun aku tau dia satu jurusan denganku dan beberapa kali melihatnya di kelas yang sama denganku. Tapi lihatlah kini, Fio tampak begitu rapuh di pelukanku, meskipun ia bersikap seolah-olah kuat.

Tekadku semakin kuat untuk menjadi 'piaraan' Pak Alex. Hal paling gila yang lahir dari otakku selama aku hidup. Meskipun kemungkinan opsi itu terwujud kecil karena aku merasa sudah terlalu tua. Dari sekian banyak teman kencannya, semuanya tak lebih dari 22 tahun. Dilihat dari kriteria umur saja aku tak menyanggupi. 

Untuk fisik, aku juga tak memenuhi persyaratan. Selama ini dari pengamatanku, Pak Alex menyukai pria-pria imut dan sedikit pendek. Meskipun wajahku termasuk lembut untuk ukuran laki-laki, tapi tinggiku gagal memenuhi kualifikasi. Tubuhku bisa dikatakan tinggi untuk rata-rata orang Indonesia. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas keras, menyadari kemungkinan Pak Alex akan menyukaiku sangat tipis. 

Fio mendongak menatap wajahku, khawatir. "Mas lagi mikir apa?" Tanyanya mengusap dadaku untuk menenangkan.

"Kalo Mas makin sibuk dan kita nggak bisa gini lagi gimana?"

Dahi Fio mengernyit tidak suka. "maksud Mas?"

"Mas harus cari pekerjaan tambahan sayang."

Fio menggeleng dan menyusupkan kepalanya semakin dalam ke dadaku. "Kenapa Mas harus susah payah cari uang sih, padahal nggak ada jaminan penyakit Fio bisa sembuh."

"Masih ada sayang." Aku mencoba memberi Fio semangat untuk terus berjuang. Aku tidak ingin dia pergi meninggalkanku.

"Tipis. Aku nggak mau mas nglakuin hal sia-sia."

"Nggak ada yang sia-sia buat kamu sayang. Mas nggak mau kehilangan kamu, mas akan lakuin apapun demi kamu."

"Mas ak" belum sempat Fio menyelesaikan pembicaraannya, dering ponselku -lagi-lagi- mengganggu.

Aku melihat ID caller yang menunjukkan nama Pak Alex di sana dan buru-buru aku mengangkatnya.

"Hallo." Tidak ada sahutan di seberang telepon, hanya suara gaduh yang kuyakini sebagai musik yang biasanya diputar di club.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 13, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sebuah Pilihan [SLOW UPDATE]Where stories live. Discover now