Pertemuan yang Tak Diinginkam

3 1 2
                                    

“Kita pulang aja. Gue enggak mood lagi di sini.” Senja beranjak dari tempatnya, tetapi ditahan oleh Aksa.

“Loe lemah, Ja! Mereka aja bahagia dan enggak peduli sama elo.” Aksa mencoba menguatkan Senja.

“Loe enggak di posisi gue, Sa, makanya loe cuma bisa ngomong gue lemah.” Senja tak dapat menyembunyikan kesedihan di wajahnya setelah Dylan dan gadis itu berlalu—masuk ke ruang bioskop.

“Emang iya, tapi gue tahu. Gue juga cowok brengsek, enggak jauh beda kayak mantan loe itu. Tapi seenggaknya, gue enggak pernah ngebiarin elo sakit sendirian!” Aksa meraih tangan Senja, mengajaknya masuk karena film akan segera diputar.

“Kalau loe mau masuk, masuk aja. Tapi jangan paksa gue.” Senja masih kukuh dengan keputusannya untuk beranjak dari sana.

“Ja, tunggu, Ja. Jangan kekanakan, lah! Sayang tiketnya, nih. Masa loe tega sama gue?” Aksa mengejar Senja yang terus berjalan menjauh.

“Berenti ngikutin gue, Sa!” seru Senja.

“Loe boleh gunain gue buat balas mantan loe,” ucap Aksa setelah berhasil meraih tangan Senja. Mereka beradu pandang.

“Gue enggak sebangsat itu,” balas Senja.

“So, enggak perlu kabur kayak pecundang.”

Sesaat hening.

“Loe secara enggak langsung udah bawa gue ketemu sama cowok brengsek itu, Sa. Dan loe masih sanggup ngatain gue kekanak-kanakan lah, pecundang lah. Gue udah susah payah buat ngelupain semua ini, dan elo ngrusak semuanya!” Mata senja berkaca-kaca.

Aksa menunduk sebentar, lalu menatap Senja kembali. “Oke, kalau loe mau pulang gue anter sekarang. Kita balik sekarang.” Aksa lalu bergerak mendahului Senja, membiarkan gadis itu di belakangnya.

Selang beberapa detik, Senja belum bergerak dari tempatnya. Ia masih memandang kesal Aksa.

“Mau loe apa sih, Senja?!” Aksa berhenti, menoleh ke belakang. Mereka berjarak sekitar empat meter.

Sejurus kemudian, Senja mulai bergerak tanpa memedulikan pertanyaan Aksa. Ia terus diam sampai tiba di tempat parkir.

“Kita cari makan dulu. Gue laper,” ucap Aksa saat memakai helm-nya.

“Loe aja, gue enggak.” Senja masih saja keras kepala, membuat Aksa makin kesal dengan tingkahnya.

Lima menit setelah meninggalkan tempat itu, Aksa membelokkan motornya ke sebuah warung makan langganannya. Ia tak bertanya lagi pada Senja ingin makan di mana, sebab sudah tahu jawabannya akan seperti apa.

“Turun, masuk dulu,” ujar Aksa.

“Gue di sini aja. Loe masuk, lah.” Senja masih tetap duduk di atas motor yang sudah Aksa parkirkan.

“Ya udah! Kalau ada brandalan yang gangguin loe, gue enggak tanggung jawab. Payah amat jadi cewek.” Aksa berjalan masuk seraya bergeleng pelan.

Mendung tiba-tiba datang, dan hujan mengguyur. Senja pun menyusul Aksa ke dalam. Persetan dengan gengsi.

“Ngapain ngikutin gue? Katanya enggak laper?” Aksa membalikkan kata-kata Senja.

“Loe enggak liat di luar ujan?” Senja berdalih. Padahal, ia juga merasa ada yang lain ketika Aksa membiarkannya.

“Oh, ujan. Bagus, deh!” Aksa manggut-manggut. Kemudian, ia menyodorkan menu makanan pada Senja. “Loe mau makan apa? Mau sekesel apa pun, perut loe harus diurus.”

Senja tak menjawab. Ia meraih lembar menu itu dan mulai mengamati satu persatu. “Sama kayak loe aja.”

“Emang loe tau apa yang gue pesen?” Aksa mengernyit.

“Karena gue enggak punya pilihan.” Senja lalu mengalihkan pandang ke arah lain. Ia menyandarkan badannya ke sandaran kursi dan melipat tangannya di dada. Netranya menatap derasnya air langit yang jatuh karena posisinya menghadap pintu depan. Dingin. Sedingin hatinya saat ini.

Karena cuaca berubah, maka Aksa memesan minuman hangat untuk Senja, meski pesanan lainnya sama dengan miliknya. “Nih, minum. Buat ngangetin badan.” Aksa menyodorkan segelas teh madu hangat untuk Senja.

“Makasih.” Senja beringsut, meraih gelas itu, lalu menyesapnya pelan. Lumayan menghangatkan tubuh, pikirnya.

Tak lama kemudian, pesanan Aksa pun datang. Dua piring nasi goreng gila, dan dua gelas jus mangga. Saat itu juga, Senja membelalak melihat makanan yang dibawa oleh sang pelayan.

“G—gue makan ini?” tanya Senja terkejut.

“Lah, napa? Kan kata loe pesan yang sama. Ya ini pesanan gue,” jawab Aksa santai.

“Ini mah tiga kali porsi makan gue, Sa!” Senja geleng-geleng.

“Cerewet banget, deh! Udah, buruan makan. Ini nasgor terenak yang pernah gue makan di luar. Gue jamin loe ketagihan.” Aksa langsung menyantap makanannya di depan Senja yang masih keheranan dengan porsi nasi goreng yang ada di hadapannya.

‘Huft! Baiklah. Anggap aja ngisi daya gue yang melemah,’ batin Senja. Dan di suapan pertamanya, Senja mengunyah perlahan. Menikmati setiap rasa yang disajikan. Kemudian, di suapan ke empat dan seterusnya, seketika mata Senja memerah—menahan pedas. Ia langsung meraih gelas di depannya, meneguk jus mangga itu sampai setengahnya.

“Huah! Aksa ..., loe mau bunuh gue, ya? Inih ..., ini makanan ..., gilak! Kenapa pedes banget?!!” ucap Senja terbata-bata karena menahan panas di mulutnya. Lidahnya seperti mati rasa.

“Pedes mana sama omongan loe ke gue?” Aksa menjulurkan lidahnya. “Lagian, ngapa loe enggak nanya dulu apa yang gue pesen? Sok-sok’an ngikutin. Kali ini, loe enggak boleh mubazirin lagi kayak tadi. Mau loe bungkus kasih ke ayam kek, atau loe simpen sampe jamuran di rumah kek. Bodo amat.”

Kali ini, Senja mati kutu. Ia tak berani membantah Aksa lagi. Ia memilih diam dan perlahan menyuap nasi goreng itu lagi dengan sekuat tenaganya.

**
“Gue lupa enggak bawa mantel. Kita tunggu ujan reda aja,” ucap Aksa setelah selesai membayar tagihan. Mereka berdiri di teras warung makan itu.

“Bukannya loe pengen main ujan-ujanan? Fine! Kita lakukan sekarang,” jawab Senja yang tengah menutupi rasa mulas.

Aksa menoleh, menatap Senja dengan raut heran dan membatin, ‘Ini cewek emang susah ditebak. Sebentar jadi tahu, sebentar jadi tempe.’

“Ayo!” ajak Senja. Ia menarik tangan Aksa menuju ke motor.

“Wei! Masih lumayan deres ini. Entar loe sakit, dan Mama loe pasti ngomelin gue.”

“Udah, cepetan idupin tuh motor. Keburu reda ujannya.”

Aksa kemudian menyalakan motornya. Mundur beberapa meter, lalu mengarahkannya ke jalanan. Benar saja, baru beberapa menit berjalan, mereka sudah basah kuyup.

Senja berpegangan erat pada tubuh Aksa. Menyandarkan kepalanya di bahu bidang itu. Meski sedikit terhalang oleh helm yang ia pakai, setidaknya masih terasa nyaman.

Aksa seketika melirik Senja dari kaca spion yang buram karena terkena tetesan hujan. ‘Sial! Napa gue deg-degan gini?’ batin Aksa mengumpat.

“Sa, bener kata loe! Hujan itu indah kalau kita mengharapkannya. Seperti saat ini,” seru Senja di tengah derasnya hujan.

‘Hujan yang selalu gue takuti sebelumnya, ternyata dapat mengobati dan membasuh luka yang gue derita.’ Senja merentangkan kedua tangannya. Menerima tetes-tetes air yang terasa dingin. Kemudian, menumpahkannya setelah beberapa mili mengisi telapak tangannya.

🦋🦋🦋

1

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 11, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

About TimeWhere stories live. Discover now