5.

3K 492 59
                                    

Sudah lewat dari tengah malam ketika Thiya mendengar suara mobil memasuki area rumahnya, pasti suaminya baru saja sampai. Dengan begitu ia langsung memrapihkan semua pekerjaannya, menaruh tab, buku, kertas, dan alat tulis.

Wanita itu masih bersandar di kepala ranjang, saling mengirimi pesan kepada teman-temannya untuk acara liburan ke luar kota dekat-dekat ini. Ia hanya perlu izin Jefan, "Neng." suara lelaki itu terdengar setelah membuka pintu kamar.

Thiya tersenyum senang ketika melihat suaminya pulang dalam keadaan setengah mabuk, "Oh sayangku." ujar Thiya menyambut Jefan dengan rentangan kedua tangannya.

Lelaki itu melempar tas hitam miliknya dan langsung menerjang Thiya dengan pelukan di perut wanita itu, tidak ada aroma wanita yang menempel dan Thiya bangga akan itu. "Main sama cewek nggak?" tanya Thiya pelan, telunjuknya menekan-nekan pipi suaminya.

Jefan menggeleng sebagai jawaban, "You really understood the assignment." komentar Thiya beralih mencubiti pipi Jefan dan lelaki itu masih memejamkan mata karena kesadarannya sudah menipis.

Keadaan Jefan yang seperti ini adalah keuntungan untuk Thiya, "Mas, aku capek. Aku butuh liburan." wanita itu memulai curhatannya setengah menahan tawa, sambil masih mengirimi pesan kepada teman-temannya. Merencanakan akan pergi kemana saja saat liburan.

"Mau kemana?"

"Bandung."

Jefan terdiam, entah kesadarannya telah hilang atau memang sedang berpikir untuk melepaskan Thiya pergi berlibur sendirian. Tanpa dirinya dan tanpa kedua anaknya yang lucu, "Hm... okay okay." jawab Jefan sekenanya. Lelaki itu tidak bisa berpikir jika dalam keadaan seperti ini.

Dengan gembira dan bahagia Thiya nyaris bersorak, "Sama siapa, neng?" tanya Jefan yang mendongak menatap wajah Thiya dan wanita itu terdiam, sepertinya jujur pada saat seperti ini bukanlah hal buruk.

"Biasalah, sama temen-temen."

Jefan kembali memeluk perut Thiya dan mengangguk, "Okay okay. Mau di transfer berapa?" tanyanya. Thiya membulatkan matanya, ini jauh diluar ekspektasinya. Ia hanya butuh izin, masalah biaya sudah ia pikirkan. Toh, penghasilannya saat ini tidak pernah tersentuh sedikit pun.

Thiya tersenyum menang, tidak akan menyiakan kesempatan ini. "Sejuta aja jangan banyak-banyak." ucapnya, Thiya tau pandangan Jefan akan kabur saat seperti ini dan itu akan menguntungkannya tentu saja.

Sedikit berdecak Jefan mengambil ponselnya dari dalam kantung celana bahannya, mentranfer nominal uang yang Thiya sebutkan. "Anything for you, babe." katanya, melempar ponselnya dan memejamkan matanya kembali karena jujur saja kepalanya terasa sangat amat berat sekarang.

Notifikasi masuk kedalam ponsel Thiya dan ya... rencananya tidak gagal, sepuluh juta bukan nominal yang sedikit hanya untuk pergi keluar kota selama tiga hari. Thiya langsung memeluk suaminya, "Sun sayang sun." ujarnya menciumi pipi suaminya dengan senang.

Ada gunanya juga memiliki suami pemabuk, pikir Thiya.

.

"Mama mau kemana?" tanya Marvin ketika Thiya keluar kamar dipagi buta dengan koper merah muda dan penampilannya yang tidak biasa. Thiya dengan celana pendek, kaos biru, rambut dikepang kesamping, sandal jepit, dan kacamata hitam. Siap pergi berlibur.

Thiya berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan si sulung. "Mama mau liburan, kakak sama Jeo dirumah ya sama papa." jelasnya pelan. Sebenarnya takut meninggalkan kedua anaknya ditangan orang seperti Jefan.

Tapi Thiya butuh liburan!

Marvin nyaris menangis, "Kok engga ajak kakak sama Jeo? Mama nggak sayang kita ya?" ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Thiya melihatnya jadi tidak tega, tapi mau bagaimana lagi? Ia sudah memesan tiket pesawat semalam.

"Mama sayang kakak, sayang Jeo juga. Mama pergi nya sebentar. Hari ini sama besok, besoknya lagi mama udah pulang. Nanti bawa oleh-oleh, kalau kakak kangen nanti bisa video call. Okay? Udah jangan nangis ya?" Sebelum Marvin menangis, Thiya terlebih dulu memeluknya erat. Ia pasti mengerti, walaupun ini yang pertama kalinya Thiya meninggalkan kedua anak lucunya.

Jeo masih tertidur, Thiya sudah meminta izin kepada si bungsunya kemarin. Karena Jeo lebih sulit diajak berbicara, nyaris mirip seperti Jefan.

Kedua jempol Thiya mengusap air mata Marvin yang jatuh, "Mama perginya sebentar okay? Disini kan ada papa, jangan sedih." Marvin mengangguk walaupun setengah hatinya masih merasa berat.

Setelah mengecup pipi Thiya, Marvin berjalan ke arah ruang tengah untuk bergabung bersama Jeo yang baru saja bangun. "Mau kemana, Neng?" tanya Jefan yang turun dari tangga, baru saja selesai mandi dan heran menatap istrinya yang sudah rapih.

Thiya menyeret kopernya hingga ruang tengah, "Liburan." jawabnya.

"Hah liburan? Liburan apaan? Kapan aku izinin?"

"Lah semalem pas kamu pulang, aku nanya liburan boleh nggak. Kamu oke oke aja tuh."

"Apa iya? Uang ada emang?"

"Kamu kan udah tranfer juga."

"Hah masa?!"

Dengan terburu Jefan mengecek ponselnya, memastikan jika ia tidak terlalu mengeluarkan banyak uang. "Udahlah mas, lagian aku jarang liburan. Ikhlasin aja uangmu, daripada buat sewa lc ya kan mending buat aku." ujar Thiya. Disana Jefan masih meratapi sisa saldonya, ya walaupun hanya berkurang sedikit sih.

Jefan menatap Thiya dengan pandangan yang sulit diartikan, "Sepuluh juta lho, neng." ujarnya masih sedikit syok. Thiya hanya menaikkan bahunya acuh, tidak peduli dengan suaminya.

"Yaudahlah, pokoknya kamu dirumah tiga hari sama anak-anak. Sabtu minggu senin dan aku udah dirumah." ujar Thiya kembali menyeret kopernya hingga kedepan pintu utama rumah mereka, tidak peduli dengan suaminya yang masih terdiam disana.

"Aku? Sama anak-anak?" ucapan Jefan membuat kedua anaknya yang duduk diatas karpet berbulu itu mendongak bersamaan dan menatap wajahnya dengan pandangan berbinar, Jeo menatap Jefan dengan botol susu yang masih menempel di mulutnya. Memangnya ada masalah ya jika Jefan bersama mereka, pikir kedua anaknya itu.

"Iya lah! Oh anak-anak mama, mama pergi dulu ya. Hari senin mama pulang, nanti bawa oleh-oleh." Thiya kembali berlari menuju kedua anaknya, memeluknya erat dan mengecupi pipi Marvin dan Jeo bergantian.

Jefan terduduk di sofa dan nampak stress sendiri disana, masih belum menerima kepergian Thiya, "Aku juga mau dicium."

"Nggak!"




































































































an.
aw aw gemasnyee
konflik jangan?

daintyWhere stories live. Discover now