🎨 Erina's Story

1.4K 320 56
                                    

Mimpi buruk hanyalah bunga tidur. Khayalan, alias tidak benar-benar terjadi. Namun jika Erina boleh memilih, ia berharap semua peristiwa di rumah ini adalah bagian dari mimpi buruk saja. Bukan kenyataan.

Begitupun suara teriakan frustasi yang saling bersahutan di ruang tamu atau gema lengkingan dari pecahan barang diikuti bantingan kasar pada kusen pintu, minimalnya tidak menjadi hal yang normal di sini. Bagaimana frekuensi itu berubah dari yang biasanya hanya sekali seminggu, menjadi hampir setiap hari, belakangan ini.

Erina melirik pada jam di dinding kamarnya. Pukul sebelas malam. Helaan napasnya menguar. Dalam satu aksi yakin dia lalu menyibak selimut, memaksa badan yang baru beberapa menit lalu beristirahat itu untuk bangun. Si gadis meraih jaket demi menutupi kaus tipis di dalamnya kemudian membuka jendela kamar.

Seolah terbiasa Erina meraih sebuah tali, menjulurkannya keluar bingkai jendela itu lalu lanjut turun dari sana dengan ahli. Memang ini bukan pertama kalinya. Setidaknya sejak ia sudah berumur lima belas tahun.

"Terus mau kemana nih?" monolog Erina setelah berhasil menginjakkan kaki di dasar lagi.

Pandangannya menyapu bangunan rumah besar itu dari luar sebelum kemudian dia memantapkan langkahnya, memutar badan dan berderap pergi.

Kemana pun itu, mungkin jauh lebih baik dari pada bertahan di sini untuk sekarang, pikir Erina.

Yang dia butuhkan saat ini adalah tempat yang buka 24 jam. Bukan mini market tentunya karena terlalu kentara. Maka, usai mempertimbangkan, pilihan Erina pun jatuh pada warnet.

Erina mencari warnet terdekat dengan satu kali naik angkot. Untungnya dia menemukan warnet yang buka 24 jam itu. Tanpa berpikir lama, sang gadis segera saja masuk ke sana dan menempati bilik yang masih kosong.

Dia menyalakan layar komputer namun tak memainkannya, justru Erina beralih melipat kedua tangan di atas meja. Berniat mau lanjut tidur. Tak peduli jika nanti billing-nya mungkin akan sangat besar jika betulan dibiarkan begitu sepanjang malam. Tapi ya urusan uang adalah urusan belakangan. Yang penting Erina sudah menemukan tempat beristirahat yang cocok menurutnya.

Sampai si tetangga di bilik sebelah tiba-tiba berseru nyaring, "ARGH! SIAL! GUA MATI!"

Membuat Erina terkejut. Refleks dia balas menggerutu, "Ck, berisik nying."

"Eh, sorry, suara gua kenceng banget ya? Gak sengaja, maaf ya."

Yang rupanya terdengar oleh user di sebelah. Tanpa Erina duga, orang itu tahu-tahu sudah memundurkan kursinya lalu menyamping sembari berkata demikian.

Erina yang berniat memakai earphone langsung berhenti bergerak. Gadis itu lantas menoleh dengan posisi si lawan bicara tadi masih menghadap padanya. Lalu setelah sama-sama berhadapan, mereka kompak terdiam.

"Er?"

Dalam hati Erina mengutuki dirinya. Betulan timing yang buruk untuk bertemu mantan dengan tidak sengaja.

"Eh, hai, Ren." balas Erina seadanya, "lagi main juga lo?"

Darren bergeming. Dilihatnya layar komputer Erina yang gelap. Jelas sekali gadis itu tidak sedang bermain apa-apa di sana. Lagipula ini sudah hampir tengah malam, Darren sangat tahu Erina bukan tipikal gadis yang akan keluar rumah demi bermain game selarut ini.

"Ren, rematch dah. Masih login gak lo?" suara Vincent menginterupsi. Samar Erina juga bisa melihat Justin ada di sana, mereka tampaknya belum menyadari kehadiran Erina karena masih fokus ke layar komputer masing-masing.

Tanpa prediksi, Darren tiba-tiba berdiri lalu berkata, "Enggak. Gue udahan deh."

"Hah, serius?" tanggap Justin, "Mau pulang? Baru juga satu match. Billing lo masih sisa banyak tuh."

[✔️] RainbowismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang