Part 1

12.3K 771 70
                                    


"Kita sampai disini saja, Liv. Saya tak pernah bisa memaksakan perasaan yang tak pernah ada di antara kita." Ujar lelaki dewasa yang kini duduk berhadapan dengan seorang gadis cantik dan terlihat sangat anggun.

Gadis dengan dress hitam panjang, serta rambut panjang tergerai tersebut hanya dapat melihat kekasihnya dengan tatapan mata kosong serta senyum tipis.

"Aku menghargainya, Bang. Apapun keputusan kamu karena aku tak bisa memaksa perasaan, Bang. Kalaupun dipaksakan terus kita akan sama-sama saling tersakiti."

"Livi!" Teriak lelaki dewasa dengan napas tak beraturan serta keringat mengucur deras di seluruh tubuhnya.

Edwardian Alexio, lelaki dewasa yang sudah berusia tiga puluh empat Tahun yang kini duduk di tengah ranjang menatap jam di atas televisi kamarnya. Ternyata masih sangat pagi, jam tiga dini hari lebih tepatnya. Tak seperti biasanya, mimpi itu akan datang saat jam setengah lima pagi. Tak dini hari seperti sekarang.

"Liv, apa kamu gak rela saya memutuskan hubungan itu secara sepihak?" Gumam Edward sembari mengusap keringatnya yang mengucur deras disetiap bagian tubuhnya.

Dengan helaan napas panjang, Edward turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum di dapur. Seperti malam-malam sebelumnya, secangkir kopi pahit bisa menenangkan pikirannya untuk saat ini. Dia sudah tak tahu harus menangkan pikirannya dengan apa jadi lebih memilih kopi saja.

Dia membuat kopinya sendiri karena tak mau menyusahkan asisten rumah tangganya yang saat ini kemungkinan besar sudah berada di alam mimpi. Tangan Edward sangat cekatan dalam membuat kopi karena memang sudah terbiasa. Setelah selesai, dia membawa kopinya ke ruang keluarga. Duduk di antara gelapnya ruang keluarga, Edward memang sengaja tak menyalakan lampunya untuk berjaga-jaga agar orang tuanya tak menemuinya.

Hari ini Edward menginap di rumah orang tuanya karena ibunya merindukan dirinya, dengan berat hati akhirnya Edward mau datang. Dia bukan tak mau menemui orang tuanya, tapi saat bertemu pasti ibunya bertanya tak jauh-jauh dari tentang menantu. Membandingkan dirinya dengan sang sahabat yang kini sudah menikah lagi setelah menduda.

Edward menyandarkan badannya di sofa dengan kepala mendongak, bibirnya terus mengeluarkan asap dari rokok yang dia hisap sebelumnya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat dini hari, jadi dia sudah duduk diruang keluarga kurang lebih tiga puluh menit.

"Belum tidur?" Tanya lelaki yang baru datang, lelaki itu duduk di seberang sofa dan menatap putranya yang nampak berantakan malam ini.

"Kebangun. Ayah gak tidur?"

"Kebangun juga." Sahutnya di iringi kekehan pelan.

"Kamu memikirkan sesuatu?" Tanya Lindung pelan, Edward hanya tersenyum miring dan menggeleng.

"Kalau Bunda kamu memaksa kamu segera menikah sebetulnya juga bukan hal yang salah karena usia kamu sudah sangat pantas menikah, Ward. Tapi kalau dilihat dari sisi kamu sendiri, itu hidup kamu yang bisa menentukan pantas tidaknya kamu sendiri. Ayah hanya bisa menjadi penengah di antara kalian karena Ayah juga tak bisa mengabulkan keinginan Bunda kamu agar kamu segera menikah. Ayah juga tak bisa membuat Bundamu membebaskan pilihanmu."

"Pernikahan memang bukan hal yang mudah, banyak rintangan didalamnya, entah godaan dari orang luar, ekonomi, kesiapan mental dalam menghadapi masalah semua harus dipikirkan secara matang. Tapi, kalau dilihat dari segi ekonomi kamu sangat mampu menghidupi istri dan anak, dilihat dari kesiapan mental seharusnya kamu juga sudah sangat matang setelah banyak hal yang dilalui. Tapi terserah kamu juga sebetulnya, Ayah cuma bisa membuat pikiranmu terbuka dan membuat Bundamu lebih tenang dari pikirannya yang terus menuntutmu untuk menikah."

Not A Perfect Couple (New Version) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang