3# Trauma dan masa depan

115 29 3
                                    

Jangan jadikan masa lalu menjadi patok utama hidupmu untuk mundur.

..

"Li, izinin aku kerja ya?"

"Big no, Prill."

"Tapi aku bosen, Li. Aku gak mau terus-terusan repotin kamu, Aliii.." Prilly mengusap wajahnya gusar, tengah malam setelah makan malam mereka sama-sama bertengkar tidak ada yang mengalah, bahkan Prilly sampai menangis menginginkan bekerja di luar sana karena Prilly tak ingin merepotkan Ali.

Jujur Prilly tahu, menentang keinginan Ali adalah dosa yang sangat besar. Namun, bagaimana lagi, ia hanya tak ingin semakin merepotkan Ali, bahkan Ali sampai-sampai bekerja tengah malam demi menghidupi keluarganya.

"Aku kepala keluarga di sini, Prill. Jadi aku mohon, turuti suami aku. Jangan buat aku marah!" ujar Ali dingin bahkan tanpa melihat pada Prilly. Prilly menoleh dengan mata semakin menatap. "Kalo cuma ngeharapin modal kamu gak cukup, Li. Keperluan aku sama Aily banyak perlu kamu tau itu. Kamu kira kerja di cafe bakalan cukup hidupin kita bertiga!" seloroh Prilly.

Ali mengusap rambutnya kesal dengan Prilly yang sejak sebulan itu terus-menerus meminta izin untuk bekerja, bahkan tanpa sepengetahuan Prilly pun, ia sudah bekerja di tiga tempat membuat sesekali Ali harus pulang pukul tiga malam. Ali menarik tangan Prilly. "Kamu cukup tinggal di rumah, Prill. Di sana bukan tempat kamu, terlebih aku udah janji sama mama papa kamu buat gak izinin kamu kerja. Bahkan aku rela lagi-lagi putus sekolah kalo kamu mau aku lebih sukses lagi," tutur Ali membuat pikiran Prilly terbuka.

Pernikahan yang baru genap tiga bulan tak luput dari berbagai masalah yang terjadi. Bahkan tiga bulan itu Ali tak pernah meminta haknya pada Prilly, karena ia tahu Prilly masih mempunyai trauma bersama Arta.

Ali menghapus air mata Prilly. "Istirahat ya, jangan marah-marah terus. Kasian Aily, tidur dia keganggu gara-gara kita," ujar Ali lembut seraya mengusap pelan kepala Prilly.

Prilly menutup wajahnya, susah ternyata mendapat izin dari Ali, bahkan dia sangatlah keras kepala. Prilly menatap cincin yang bertengger di jari manisnya, cincin yang sangat sederhana. Namun, sangat berarti, cincin hasil perjuangan Ali dan jerih payahnya. Prilly mengecup pelan cincin itu, lalu beranjak mencari keberadaan Ali.

Di bawah pohon, di belakang kontrakan. Prilly melihat Ali tengah duduk di sana seraya menatap bintang-bintang. Perlahan Prilly menghampirinya, lalu Prilly memeluk Ali dari belakang.

"I am sorry."

Ali menoleh bertepatan dengan wajah Prilly yang menatapnya. Ali menganggguk, lalu menarik Prilly untuk duduk di sampingnya. "Udah jangan nangis!" Ali menyusut air mata Prilly yang terus menetes tanpa henti, Prilly menghambur ke pelukan Ali, mengeluarkan semua keluh kesahhya pada Ali.

Ali menepuk punggung Prilly agar tenang, bagaimanapun Prilly hanya membutuhkan ketenangan, dia masih trauma, tidak seharusnya Ali terus-terusan memojokan Prilly dan menyalahkan dia.

"Don't cry, baby. I don't like you crying because of me. I beg you, don't cry, baby." Prilly buru-buru menghapus air matanya lalu memukul dada Ali kesal. "Yaudah maafin aku," kata Prilly kesal.

Ali tertawa lalu mencubit pipi gembul Prilly. "Dari tadi aku udah maafin kamu, Prill. Udah jelek tambah jelek kalo nangis. Aku paling gak suka sama nangis gara-gara aku, cukup aku yang bikin kamu bahagia," tutur Ali membuat Prilly merasa beruntung mempunyai Ali yang selalu ada untuknya.

LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang