39. Di Atas Jembatan Ini

5 1 1
                                    

Suasana berlangsung lebih kacau. Kali ini, aku bisa menyaksikan sendiri monster-monster jenis baru itu, jenis yang menyerangku beberapa malam yang lalu. Piramida pelindungku beberapa kali terbentur. Aku menahan rasa takut dengan tetap fokus pada auraku. July sekuat tenaga merapalkan mantra. Rambut dan dahinya basah kuyup. Lalu hujan. Hujan deras. Satu serangan dan piramidaku koyak.

"Will!" seru Abel.

Sebuah siluet panjang menukik ke arahku. Ash berteleportasi ke sampingku, merangkul pinggangku dan memaksaku berdiri, dan kami berpindah tempat.

Suara desing kereta api lewat menyerbu telingaku. Tanah di bawahku bergetar. Aku melongok ngeri. Kereta api kargo meluncur di bawah jembatan ini. "Ini di mana?"

"Entahlah, sepertinya aku ke sini sekali-dua kali saat menjalankan misi. Tempat ini terlintas begitu saja di benakku," jawab Ash.

Jembatan tempatku berpijak terbuat dari batu-batu besar dan dilalui oleh dua jalur kereta api. Langit hitam keunguan di sini. "Apa yang terjadi pada yang lain?"

"Begitu auramu hilang, para monster itu akan pergi juga. Aku yakin mereka baik-baik saja."

"Sungguh?" Aku tiba-tiba dilanda panik. Ash merangkulku erat. Tatapannya menerawang. "Aku ingin kau baik-baik saja."

Kereta lewat bersamaan di kedua jalur, saling berpapasan. Bersamaan dengan Ash menciumku. Ia tak memberi aba-aba, tak pula meminta izin seperti yang lalu. Bibir kami bertemu dan segalanya terasa bak mimpi. Aku merasa tersihir kabut malam. Tanah bergetar di kaki kami, begitu juga bahu dan lutut ini.

Rambut hitam Ash terlihat semakin legam dan kusut. Ash mengeratkan pelukannya. Sebelah tangannya menangkup daguku. Aku berjinjit. Dia tak berhenti, begitu pula aku. Tak ada dari kita yang mau berhenti. Seolah, ini adalah waktu terakhir kami yang terjadi begitu langka, lebih langka dari gerhana Venus atau badai matahari. Bahkan, dibandingkan dengan saat ini, gerhana Venus dan badai matahari tak lagi nampak sebagai fenomena langka. Bulan diam dan menyaksikan dua cucu Adam dimabuk asmara. Kabut ungu pucatnya menyembunyikan senyum malu-malunya.

Kereta sudah berkilo-kilo jauhnya. Ash melepaskan pelukannya. Aku merasa rapuh seketika.

"Kenapa aku begini?" lirih Ash.

Aku tak mampu menjawab, hanya mampu menatap. Ash menyisir rambutku. Auranya bangkit lagi. Ia merangkulku tanpa ragu, lalu kami kembali ke tempat semula. Semua orang tengah duduk di tanah basah. Saat kami muncul, mereka serempak berdiri.

"Kalian baik-baik saja?" Abel merangsek maju. Aku mengangguk mantap. Saat pandanganku berkeliling, kusadari di beberapa bagian, rumput terbakar dan sebuah pohon tumbang. "Apa kalian baik-baik saja?"

Abel balas mengangguk. "Tidak ada yang terluka."

Sajda langsung mengajak semua orang untuk pulang. Kami masuk mobil. Ash bergegas ke jok kemudi. Mesin menderu. Kami meninggalkan bukit. Hujan telah lama reda, tetapi badai berkecamuk di dalam dada.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/3vwmuLI

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang