Bagian 12

26K 5.9K 901
                                    

Note : Mungkin nanti bakalan ada banyak typo soalnya nggak aku revisi ulang, jadi biarin aja. Nanti bakalan aku revisi kalau udah senggang. Happy reading!


***


Bagi orang-orang dewasa, masalah pertemanan mungkin bukan sesuatu yang serius. Kebanyakan dari mereka pasti tidak peduli meskipun mereka tidak memiliki teman. Lajur kehidupan yang pahit dan pelik pasti sudah membuat mereka mengerti bahwa memiliki banyak teman bukanlah prioritas utama. Meskipun mereka hanya memiliki satu, atau bahkan tidak sama sekali, itu bukan masalah dan kehidupan mereka akan terus berjalan. Tapi bagi anak yang baru menginjak usia 17 tahun sepertiku, masalah pertemanan adalah sesuatu yang krusial. Memiliki teman atau tidak, sama seperti menentukan keberuntungan bahkan kehidupan kami kedepannya.

Aku sendiri masih tidak mengerti. Kenapa kami harus membentuk kelompok-kelompok kecil hanya untuk menertawakan sesuatu? Kenapa masing-masing kami harus bersinggungan untuk membahas sesuatu? Seperti hari ini ketika bel istirahat berbunyi, aku melihat bagaimana kelompok-kelompok pertemanan yang ada di kelasku mulai berpencar mencari anggotanya--persis seperti sekelompok jenis semut yang terpencar dengan kawannya. Sementara ditempatku duduk, aku tidak memiliki siapa-siapa selain diriku sendiri.

Aku sudah terbiasa. Namun untuk beberapa waktu, ada perasaan mencelos ketika anak-anak di kelasku selalu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Aku tidak merasa sesedih itu, tapi rasanya cukup tidak enak ketika kita dianggap berbeda. Jadi tidak seperti anak-anak yang menuju kantin dengan kawan-kawannya, aku berjalan ke arah sana sendirian. Tujuan kami sama, tapi nasib pertemanan kami saja yang membedakan.

"Kak Jaya!!"

Tapi untuk pertama kalinya, ada seseorang yang menjajari langkahku. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berjalan bersamaku menuju kantin.

"Hi, Re!" aku menyapanya dengan senyum tipis. Setidaknya, kehadiran Rebecca membuat perasaanku membaik sedikit demi sedikit. Jauh di dalam hatiku, sebenarnya aku berteriak kegirangan. Aku pikir aku akan lulus dari sekolah ini tanpa memiliki teman satu pun. aku pikir aku akan terus berjalan menujun kantin sendirian seperti hari-hari sebelumnya.

"Makan bareng yuk!" Rebecca berucap dengan nada riang. Langkahnya terlihat melambung-lambung, seakan berjalan di sebelahku adalah hal yang menyenangkan baginya.

"Mau makan apa?" tanyaku, karena aku memang tidak memiliki alasan apapun untuk menolak tawarannya.

"Hmmm.." lalu ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu. Itu terlihat lucu sampai-sampai aku refleks terkekeh saat melihat tingkahnya yang--imut. "Kakak mau makan apa?"

"Apa aja sih. Aku pemakan segala." kataku yang entah mengapa membuatnya tergelak. Itu jelas membuatku heran. Manusia jenis apa Rebecca ini sampai-sampai ia terkekeh pada leluconku yang sebenarnya terlalu jayus untuk disebut lelucon. Bang Tama saja hampir tidak pernah menertawakan leluconku padahal dia adalah manusia paling receh di keluargaku.

"Omnivora dong?" ia tertawa semakin keras. "Kakak udah pernah makan apa aja selama ini?"

"Apa ya? Makan hati? Makan nyinyiran tetangga? Makan pahit getirnya kehidupan?" Kali ini Rebecca terkekeh. "Semuanya dimakan sampai kenyang."

Kami terus berjalan menyusuri lorong-lorong kelas yang ramai. Sepanjang perjalanan itu, aku selau melihat sudut-sudut bibir Rebecca tertarik dengan indah. Bahkan sesampainya kami di kantin yang ramai, dia berlari tergopoh-gopoh untuk menarik satu kursi kosong untukku. Meskipun caranya berinteraksi denganku cukup mengundang keheranan untuk diriku sendiri, aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Where stories live. Discover now