Apa yang lebih menyenangkan daripada diberi upah susu kedelai oleh Bibi Gill? Sampai sekarang Ethan belum menemukan lawan sepadan untuk mengalahkan berkat Tuhan yang satu itu. Sekalipun itu Kharqa yang bernyanyi? Tidak tahu, sih. Kendati diam-diam ia mengagumi suaranya dari jok kemudi, lelaki yang ikut mengisi coretan buku harian Kharqa nyaris seumur hidupnya itu masih menunggu sesuatu; semacam ledakan, barangkali? Ia yakin seratus persen jika sahabatnya mampu melakukan lebih dari sekadar nyanyian ketika bosan di perjalanan. Tidak bermaksud hiperbolis, tetapi demi susu kedelai buatan Bibi Gill (lagi-lagi), semua orang harus mendengar Kharqa bernyanyi. Suatu saat nanti, ketika akhirnya gadis itu setuju untuk menunjukan bakatnnya—itulah yang membuatnya menunggu.
"When I was just a little girl
I asked my mother, what will I be
Will I be pretty, will I be rich
Here's what she said to me
Que sera, sera
Whatever will be, will be
The future's not ours to see
Que sera, sera
What will be, will be."
"Tidak mau punya toko roti saja?" tawarnya menyambung maksud lagu yang Kharqa nyanyikan. "Kau bisa makan cinnamon roll setiap hari, semaumu."
"Kedengarannya seru, sih, tapi tidak, ah. Aku ingin jadi saudagar tanah saja seperti Nyonya Kady."
Ah, Nyonya Kady. Wanita itu memang tidak tinggal di kompleks tempat mereka tinggal, tetapi sebagian besar tanah dan rumah yang disewakan di sana adalah milik wanita tersebut—termasuk peternakan kuda di dekat sekolah, tempat keduanya menghabiskan musim panas dengan pekerjaan paruh waktu. Sebenarnya mereka bisa bekerja di rumah makan atau kebun stroberi milik paman Ethan. Namun, Kharqa lebih memilih peternakan kuda yang mengizinkannya bermain dengan bayi kuda selepas jam kerja.
"Ethan, tau tidak?" serunya menepuk pinggang sang kawan dari belakang. "Terkadang, ketika kau mengikuti kelas tambahan, aku sering sekali bertemu dengan Nyonya Kady di jalan. Dia selalu memberiku tumpangan pulang, lho! Lalu aku juga diberi sekantung permen jelly, Nyonya Kady bilang dia sangat suka makanan manis. Pantas saja, ya, aroma kabin mobilnya seperti toko manisan yang ada di kota, yang pernah kita datangi itu, persis sekali." Kurva senyumnya tertarik menyentuh mata, cukup dengan membayangkan bagaimana manisan itu menciptakan sensasi manis yang meletup-letup lucu di mulutnya sukses membawa Kharqa terbang hingga lautan kosmik.
Mendengar itu, Ethan merasa takjub setengah iri. "Kau diantar pulang dengan Benz? Hebat sekali."
Kharqa mengangguk meski sahabatnya tidak mungkin melihat. Ia setuju, tidak ada bising suara kerikil maupun rem yang berderit ngilu, bokongnya juga tidak akan sakit karena duduk di bantalan jok yang keras saat melewati jalan rusak. Namun, "Bukannya aku tidak suka dibonceng dengan sepeda, lho. Naik Benz memang nyaman, tetapi rasanya lain kalau tidak ada kau ... aku jadi tidak bisa mengobrol seperti ini."
"Seperti apa?"
Kharqa kehilangan kata-katanya. Ia benar-benar tidak mengira pernyataannya akan mendapat umpan balik. Niatnya agar sahabatnya tidak merasa tersinggung dan berkecil hati, dan nyatanya lelaki itu pun tidak merasa terganggu sama sekali. Alih-alih tersinggung, Ethan malah terkejut dengan pernyataan yang gadis itu lontarkan. Beruntung Kharqa tidak bisa melihat pipi tomatnya dari belakang sana.
"Ya ... obrolan teman sebaya. Astaga, mana mungkin aku membahas kentut segar pagi hari, bukan? Hahaha." Aduh, dasar konyol.
Entah karena kecewa atau sibuk merutuki ke-kikuk-kan masing-masing, yang jelas suasananya berubah canggung setelah itu. Mereka yang awalnya berisik sepanjang perjalanan, kini membiarkan suara kerikil serta derit rem aus terdengar lebih nyaring dari deru napas.
YOU ARE READING
If I had Hope, it would be You
Teen FictionEthan Shamas hanyalah bocah lelaki biasa yang harumnya seperti campuran ragi dan kayu manis, pandai merangkai ilalang, serta penggemar nomor satu susu kedelai buatan Bibi Gill. Namun bagi seorang gadis macam Kharqa, Ethan adalah alasannya untuk teta...