It's Okay

257 26 3
                                    

Seseorang pernah berkata padanya seperti ini, "Waktu benar-benar hal yang ajaib, ya. Beberapa tahun telah berlalu begitu saja tanpa kita sadari."

Sudah berapa lama, ya? Satu tahun? Dua tahun? Mungkin lebih dari itu, kan?

Dia tidak tahu. Seingatnya, sudah sangat lama sejak terakhir kali dia menghitung hari yang terus berlalu.

Sejujurnya, dia bahkan tidak peduli apakah hari esok akan terus datang atau justru kiamat yang datang. Sungguh, dia sama sekali tidak peduli.

Namun, dia berpikir akan bagus jika saja kiamat yang menghancurkan dunia benar-benar terjadi besok.

Kenapa, ya? Kenapa dia berpikir seperti itu?

Ah, benar, dia sudah merasakan kiamat berkali-kali. Jadi, merasakannya sekali lagi sepertinya tidak ada artinya.

Angin sepoi-sepoi bertiup ke arahnya, membawakan aroma kesejukan dan kesegaran musim semi. Bunyi gemerisik angin yang menerpa dedaunan menyapa pendengarannya.

Dia menoleh, melihat ke langit di luar jendela. Langit biru bersih disertai awan putih dan sinar matahari pagi. Dia bertanya-tanya, apakah langit selalu terlihat sebersih itu?

Sejauh ini, langit yang diingatnya selalu terlihat mendung, seolah siap mendatangkan badai kapan saja. Dia tidak tahu kalau langit bisa terlihat seindah itu, bukannya terlihat berbahaya seperti langit dalam ingatannya.

Gerombolan burung yang bermigrasi terbang melintasi langit, kicauan riang mereka mengingatkannya pada momen damai dari masa lalu. Namun, dia segera mendorong jauh-jauh momen nostalgia itu dari pikirannya.

Tatapan apatisnya beralih ke arah laut tenteram di seberang sana, seolah-olah tidak ada bahaya apa pun di samudra luas itu. Samar-samar, suara deburan ombak pun terdengar.

Laut yang ini, berbeda dengan lautan penuh darah yang diingatnya. Jadi, apakah laut selalu terlihat setenang ini?

Selama ini, laut dalam ingatannya selalu terasa mencekam.

Pemandangan mengerikan cairan merah yang mewarnai lautan masih terekam jelas di benaknya. Ditambah dengan tubuh dingin manusia dan bukan manusia yang terombang-ambing disapu ombak.

Saat itu, suara ombak mendebur terdengar seakan-akan lautan sedang mengamuk, diikuti dengan terjangan deras gulungan ombak tinggi yang terlihat seakan-akan siap menerjang apa pun yang menghalangi jalannya.

Bencana.

Satu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana kala itu.

Yah, mungkin, alam memang sedang mengamuk saat itu.

Karena itu, alam mendatangkan bencana pada mereka yang sedang sibuk berperang, saling menyakiti dan menghancurkan satu sama lain.

Dia mendengarkan alam bernyanyi dalam diam, merasakan sedikit riak di dalam hatinya yang mulai mati.

Persis seperti ketika seseorang melemparkan batu ke sungai, menyebabkan riak kecil yang dengan cepat menghilang tanpa bekas.

Sudah berapa lama, ya? Dia sekali lagi bertanya-tanya.

Bunyi ketukan pintu membuatnya mengalihkan pandangannya.

"Masuk."

Seorang remaja berjalan masuk, membawa nampan berisikan set teh dan beberapa makanan ringan. Remaja itu dengan hormat meletakkan barang-barang yang dibawanya di atas meja.

Dia hanya menatapnya sejenak sebelum kembali melihat ke luar jendela. Sibuk dengan pikirannya sendiri, dia tidak repot-repot mendengarkan ocehan remaja itu.

ScèneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang