My Courage to Speak

78 13 4
                                    

Langit tidak setiap hari cerah, tidak setiap saat mendung, tetapi terkadang hujan datang tiba-tiba tanpa peringatan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Langit tidak setiap hari cerah, tidak setiap saat mendung, tetapi terkadang hujan datang tiba-tiba tanpa peringatan.

Itu seperti hidup ... yang tidak pasti.

Pukul tiga dini hari tadi, Nara sudah mendendangkan sebuah lagu dan membuat tidurku terusik. Itu terjadi hampir setiap hari. Namun, hanya dengan ditepuk-tepuk dan diberi ASI dia sudah kembali tertidur dengan nyenyak. Aku bersyukur, Nara cukup tenang untuk bayi seusianya.

Dinda, sahabatku yang selalu membantu menjaga Nara ketika aku bekerja pun bilang kalau Nara akan menjadi anak yang hebat. Dia sudah mampu bersikap prihatin sejak usia dini dengan tidak terlalu rewel ketika aku tinggal pergi.

Pagi ini, aku keluar dari kontrakan dan berjalan ke perempatan sembari mendorong troli bayi. Ya, aku akan membawanya ke tempat kerja kali ini karena Dinda ada kuliah pagi dan tidak bisa membantuku menjaga Nara. Beruntungnya, bosku mengijinkan aku untuk membawa Nara. Pula, usia Nara yang sudah memasuki bulan ke-5 membuatku bisa membawanya bepergian.

Di sepanjang jalan, biasanya banyak tetangga yang melemparkan tatapan dan ekspresi berbeda-beda di wajah mereka. Namun, kali ini beberapa ibu-ibu yang sering menegur dan menyapaku datang menghampiri dan bertanya, " Nay, Nara mau dibawa kerja?"

"Iya," jawabku disertai anggukan ringan.

"Apa kamu gak kerepotan ntar? Kalau nangis emangnya gak ganggu kerjaan orang lain, Nay?" timpal salah satu di antara mereka.

Aku mengulas senyum dan menyahut, "Saya sudah siapkan bekal dari popok, susu, regal, sampai mainan. Saya harap Nara bisa diajak kerja sama dan gak rewel nanti."

"Makanya Nay, jadi perempuan tuh yang punya harga diri tinggi. Jangan gampangan yang mau ditidurin sana-sini. Ujung-ujungnya ditinggalin, 'kan? Murahan, sih, sekarang rasain sendiri akibatnya."

Celutukan salah seorang wanita paruh baya yang memiliki raut bengis membuatku sakit hati. Dua ibu-ibu yang sebelumnya berbincang pun seketika memasang raut terkejut mendengar ucapan wanita paruh baya tersebut. Mereka saling menyenggol dan berbisik-bisik seolah tak enak hati.

Sembari menarik napas dalam-dalam, kedua manikku menatap lekat-lekat wanita paruh baya tersebut. Jujur saja, aku muak! Dan aku tidak ingin diam terus-terusan direndahkan seperti ini.

Wanita paruh baya ini, Rena dan dikenal sebagai mantan biduan, penyanyi dangdut antar kota. Entah ada masalah apa dengannya, sejak dua tahun lalu aku mengontrak di wilayah ini, dia bersikap seolah-olah aku adalah musuh bebuyutannya.

Dengan mengulas senyum paling manis, aku menyahuti ucapannya sekaligus meminta penjelasan akan sikapnya selama ini.

"Maaf, Anda tahu apa tentang kehidupan saya? Apakah Anda penggemar saya, atau saya pernah menyakiti Anda, mengacau keluarga Anda atau semacamnya? Mengapa Anda sepertinya sangat membenci saya. Saya memang ibu tunggal, tanpa suami. Tapi saya tidak serendah yang Anda pikir.

Her Wisdom [✓]Where stories live. Discover now