Satu 🦋

417 27 5
                                    








01. Tugas asisten?


_____________





















Ly, tolong ke sekolah anak saya, ya? Sekalian kasih sesuatu ke gurunya, saya gak bisa ke sana, jadi kamu yang urus.”








Itu, sebuah Pesan suara dari atasannya di kantor, padahal dia berprofesi sebagai asisten pribadi si atasan. Tapi, dia juga yang harus mengurus hal beginian. Jadi baby sister anak bujang, nakal lagi.

Lily Hanif namanya, wanita yang masih mengenakan pakaian kantor itu mengendus. Rasanya dongkol setiap kali harus menginjakkan kakinya di sekolah anak sang atasan, heol! Dia ini asisten atau pengasuh? Kenapa harus dia yang berurusan dengan remaja nakal seperti Haruto.

Di tatapannya sinis pada sekelompok pemuda di depannya, teman-teman Haruto.

“Pagi menjelang siang kak Lily,”

Suara mendayu-dayu, sorakan kelegaan serta penuh harap dari teman-teman Haruto menyambutnya di depan pintu ruangan BK, Lily memutar bola matanya jengkel, memilih berjalan masuk mengabaikan mereka yang meringis malu sekaligus takut.

Pintu di buka.

Di dalam ruangan, matanya mendapati Haruto yang duduk berhadapan dengan Bu Gia ㅡguru konseling Haruto.

Lily berusaha tersenyum ramah, menyembunyikan rasa gedeknya pada Haruto. Meletakan satu set skincare sesuai perintah ayah Haruto, Lily mengambil duduk di samping anak laki-laki yang udah dari tadi cengengesan tanpa dosa.

"Walinya, Haruto?"

Basa-basi Bu Gia bertanya, padahal beliau sepertinya sudah hapal di luar kepala, setiap ada masalah dengan Haruto selalu Lily yang datang mengurus ini itu. Mau tidak mau Lily mengangguk, menggeser ke depan barang yang dia bawa pada Bu Gia.

“Maaf sebelumnya, Bapak Januar sedang tidak bisa hadir. Beliau yang  menyuruh saya untuk ke sini, dan ini sebagai tanda permintaan maaf dari beliau.” kata Lily, menyodorkan satu set produk skincare Guerlain.

Bu Gia berdehem, raut wajahnya seketika melunak. Lily tahu dari garis alis yang sedari tadi menukik tajam tanpa senyum itu perlahan-lahan mulai menghilang, digantikan dengan  senyum lebih sopan kearahnya. Lily sudah biasa dengan guru ini, bahkan semua tatapan orang-orang yang memandangnya rendah.

Beruntung Lily tidak terlalu peduli dengan pandangan buruk orang terhadapnya, di hidupnya hanya ada dia. Orang lain tidak berhak mencampuri, memang siapa Lily?

"Begini mbak LiLy, nak Haruto kembali kedapatan memukuli temannya."

Lily diam menyimak, dia sudah menduganya dari wajah Haruto yang babak belur.

"Kali ini lebih parah dari sebelumnya, saya tidak bisa memaafkan kelakuan Haruto semudah bulan lalu, maaf. Dengan berat hati, saya dan pihak sekolah sudah sepakat untuk mengeluarkan nak Haruto." Lanjut guru itu dengan intonasi tegas, tangan keriputnya meyodorkan surat drop out.

Lily melirik Haruto yang masih bisa santai mengambil biskuit di atas meja, membuatnya mati-matian untuk tidak menampol wajah menyebalkan cowok itu.

Dia menghela.

“Pertama, saya tahu jika kelakuan Haruto memang tidak pantas untuk di bela seperti sekarang. Tapi, tolong pertimbangkan sekali lagi Bu Gia dan para guru. Masalahnya Haruto sudah masuk tahun terakhir, beberapa bulan lagi dia lulus.” Mohonnya, bernegosiasi.

Obsession, Obsession NotWo Geschichten leben. Entdecke jetzt