Ternyata Soobin itu ...

452 50 16
                                    

Yeonjun ingin pulang.

Entah sudah terhitung berapa puluh menit sejak dirinya terpaksa duduk sopan di atas salah satu kursi beralas bantal empuk nan mewah, menempatkan diri di antara dua orang yang sama sekali tidak menjadi bagian besar dalam hidupnya. Bahkan, Yeonjun ragu jika ia mengenal dengan baik mereka.

Choi Seungcheol, ayahnya, entah dari mana ide ini muncul, meminta Yeonjun ikut makan malam dengan para koleganya, menghabiskan waktu dengan menghadapi berbagai hidangan mewah selagi membicarakan hal-hal berat, urusan orang tua.

Ini seharusnya tidak perlu dibebankan pada seorang remaja berumur enam belas tahun, yang memang tidak memiliki ketertarikan dalam hal bisnis sedikitpun. Yeonjun jauh lebih suka memasak mi instan di rumah, makan di kamarnya selagi menonton film atau membaca-baca buku.

“Yeonjun, aku suapi, ya.”

Jika ada hal terakhir yang Yeonjun bisa lakukan dalam hidupnya, maka itu adalah melayani keinginan seorang gadis berpakaian minim di sampingnya ini. Bukannya Yeonjun merendahkan, tetapi memang nyatanya seperti itu.

Choi Arin memiliki obsesi aneh yang Yeonjun sebut sebagai ciri dasar manusia tak beradab. Perempuan itu memiliki kebiasaan menyebalkan, mendekati tiap orang yang ia pikir memiliki kekayaan lebih dari orang lain.

Ya, memang uang bisa memudahkan banyak hal. Hal-hal yang mungkin membuat bahagia, tapi bukan berarti kau harus mengorbankan segalanya untuk uang juga, kan?

Entahlah. Yeonjun tidak pernah kekurangan uang. Takutnya ia berbicara dari sisi yang tidak cukup peka dengan masalah keuangan orang lain. Tapi Arin pun tidak kekurangan uang. Jika boleh objektif, ia tidak perlu mendekati Yeonjun sebegini rupa. It’s annoying.

Inginnya Yeonjun berteriak, memaki Arin saat itu juga, sebelum sadar di mana tempatnya berpijak saat ini. Dengan kumpulan orang-orang berumur di sekelilingnya, ia hampir tidak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan seberapa tidak nyaman dirinya saat ini.

Atau dalam kesimpulan yang mudah, seluruh orang akan mengecapnya sebagai remaja tidak sopan—walau benar begitu adanya.

“Daddy, Yeonjun boleh pulang lebih awal ya.” Bukan pertanyaan, lebih seperti mirip pengumuman.

“Eh, kenapa?” Seungcheol jelas terlihat sedikit panik.

Sesuatu tentang Seungcheol adalah bahwa segalanya berkaitan dengan image yang baik di mata kolega. Kau mengundang anakmu datang untuk menunjukkan keseriusan anakmu di bidang bisnis mereka, dan kemudian anak itu ingin pulang lebih awal? Jelas-jelas defeat his purpose why Yeonjun here in the first place.

“Perut Yeonjun sakit. Yeonjun makan di rumah aja, minta Bibi Sowon.”

“Yeonjun, aku antar ya?”

Sekali lagi, Yeonjun memilih mengabaikan keinginan gadis di sampingnya tersebut. Jujur saja, terkadang ia penasaran di mana letak urat malu Arin. Bisa-bisanya menggoda seseorang di depan banyak orang tua seperti ini.

Yeonjun sendiri, meski ia akui dirinya terkadang berlaku semena-mena di depan ayahnya, hal sama berlaku sebaliknya jika di depan orang-orang penting seperti kolega ayahnya ini. Tentu ia akan menjaga sikapnya, tidak ingin namanya menjadi buah bibir di sisa waktu makan malam, juga untuk beberapa hari ke depan.

Rasanya lega, ringan juga bahagia kala Yeonjun mulai berjalan meninggalkan mansion kolega Seungcheol tadi.

Sebetulnya jarak dari mansion ini ke rumahnya cukup jauh, tetapi karena dirinya sedang butuh banyak udara segar guna mendetoksifikasi segala jenis kotoran yang tertinggal dalam hati juga kepalanya gara-gara gadis penuh paham hedonisme tadi, Yeonjun memilih berjalan kaki.

Young and Menace • yeonbin ✔Where stories live. Discover now