Dari sini mata bulat itu berpendar; menelusuri hamparan langit biru yang luas di atas sana. Ia su—ia cinta langit, sebab warna biru itu selalu ampuh menenangkan hati kala gundah gulana mulai merasuki. Tak payah peduli dengan sinar matahari yang panasnya hingga membakar kulit.
"Kook?" Sebuah suara pun menginterupsi kegiatannya begitu saja.
"Eoh? Ada apa, Jin Hyung?"
Seokjin dengan tangannya yang masih menggenggam knop pintu pun menghela napasnya. "Disini panas sekali. Kamu tahu itu, 'kan?"
Jungkook paham. Itu adalah tanda bahwa dirinya harus mengakhiri kegiatan menatap langitnya hari ini. Dengan wajah sedikit murung, ia mengangguk lalu masuk ke kamarnya itu.
"Huft ..." Remaja lelaki itu menghela napasnya di atas ranjang sembari menatap balkon; tempat favorit untuk melakukan kegiatan favoritnya pula. Padahal ia baru menghabiskan 20 menit di luar tadi. Jungkook masih tidak rela. Karena kalau boleh jujur, langit biru itu tidak hanya mampu menenangkan gundah gulananya. Sang biru itu ... juga mampu mengobati rasa rindunya akan sosok kakaknya. Bukan, bukan Seokjin tentunya. Ini kakaknya yang lain. Kakak nomor dua; lahir setelah Seokjin.
"Menatap langit biru itu seolah sedang menatap mata Jiminie Hyung ..." gumam Jungkook dengan senyum kecil di wajah, kendati ia tahu warna bola mata Jimin itu cokelat biasa. Tetapi, ia tidak berbicara soal warna—ketenangan yang mampu dinikmatilah yang ia maksud.
Jimin adalah sosok kakak yang paling mengerti dirinya, jauh melebihi Seokjin. Menurutnya, Jimin menempati peringkat pertama sebagai kakak terbaik sedunia, lalu disusul oleh Seokjin. Dan Jungkook kepalang rindu. Ingin berjumpa barang sekali dengan kakaknya meski hanya di dalam bunga tidur. Tidak apa-apa. Sungguh. Dengan begitu, setidaknya ia bisa mengetahui bila Jimin baik-baik saja.
Ah, memang sejak Jimin pergi, pasti ia akan selalu baik-baik saja. Karena sesungguhnya yang selalu tidak baik-baik saja disini adalah Jungkook. Yang masih dihantui oleh rasa rindu tak terbalaskan. Yang masih dibayangi oleh memori-memori menyenangkan bersama sang kakak. Yang sesungguhnya hanya Jungkook, yang masih enggan mengikhlaskan kepergian Jimin.
"Hyung, aku merindukanmu ..."
Sekali lagi, Seokjin hanya mampu menatap dalam diam dan penuh kesenduan dari pintu kamar Jungkook. Berharap adik kecilnya itu sembuh dan kemudian mengikhlaskan Jimin yang sudah berbahagia di tempat-Nya suatu hari nanti.
YOU ARE READING
Warna Rasa; BTS
Teen FictionSetiap warna yang hadir memberikan makna hidup tersendiri bagi setiap insan di muka bumi ini.