Bukan Sembarang Burung

16 2 0
                                    

Prompt TUM1S: School Life © SiriusInk

.

.

.

Kehidupan remaja pada umumnya selalu berkaitan dengan kehidupan sekolah. Menjalani rutinitas belajar dalam kurun waktu yang sudah terjadwalkan. Berangkat harus pagi-pagi, lalu pulangnya bisa menjelang matahari tenggelam, tergantung seberapa padatnya aktivitas di sekolah. Namun, bisa saja sebelum jadwal makan siang pun sekolah sudah dibubarkan.

Normalnya memang begitu. Namun, bagiku tidak semuanya berjalan seperti kehidupan sekolah pada umumnya. Karena ada sebuah rahasia besar yang tidak kuberi tahu kepada siapa pun. Kebenaran bahwa aku adalah seorang traveler, penjelajah dimensi dunia dan waktu.

Nah, sekarang peranku adalah sebagai anak sekolah biasa.

Sayangnya ini jelas tidak berjalan semudah yang dibayangkan. Sebab, kemana pun aku pergi, aku akan sentiasa diawasi oleh seekor burung. Bukan sembarang burung, tetapi dia yang akan menjadi pengawasku selama di sini. Pergerakanku jadi terbatas gara-gara dia.

"Chirp ... Chirp ...."

"Hei, apa tidak bisa kamu berwujud manusia saja?" tanyaku pada si pengawas.

Pengawas yang dalam wujud burung pipit itu pun bercuit, "Chirp ... chirp .... chirp chirp .... (Terserahku, dong. Lagian ... jadi burung lebih leluasa.)"

Mungkin bagi awam cuitan si pengawas ini terdengar hanya suara umum pada biasanya. Namun, di telingaku justru terdengar seperti suara om-om menyebalkan. Tentu, aku mengerti bahasa dia.

"Mana mungkin aku membawa burung ke sekolah." Sungguh tidak habis pikir. "Kenapa tidak menyamar jadi murid, berpura-pura sebagai temanku atau sebatas kenalan? Oh, bisa juga menjadi guru, satpam, bahkan penjaga kantin."

Dengan kepala kecilnya, si pengawas menggeleng. "Chirp chirp. (Itu menyusahkan.)"

Dasar. Apa coba enaknya jadi burung? Haaah, kalau nanti ditanya macam-macam aku harus bersikap seperti apa?

***

Aku tidak tahu bagaimana caranya menahan rasa malu. Sepanjang berjalan dari awal masuk gerbang, lalu di koridor kelas, aku mendapatkan tatapan tidak biasa dari warga sekolah disertai bisikan-bisikan.

Ah, pasti mereka menganehkan aku. Memangnya siapa coba ke sekolah bawa burung pipit di pundak?

"Kan aku bilang apa? Sekarang jadi bahan perbincangan. Mau taruh di mana mukaku sekarang?!" bisikku dengan pelan agar orang lain tidak sadar aku sedang berbicara dengan seekor burung.

Sadar atau tidak, dari tadi aku hanya menyebut pengawas berwujud burung pipit ini memakai sebutan 'kamu' saja. Baiklah, sebenarnya dia punya nama, hanya saja aku terkadang malas menyebut namanya itu. Izumi, aku ambil nama itu karena bisa untuk perempuan atau laki-laki.

Kembali ke masa sekarang. Seorang guru tengah menulis penjelasan materi di papan tulis. Karena itulah kelas menjadi hening dan penuh konsentrasi. Sampai tiba-tiba kedamaian itu terpecahkan oleh cuitan nyaring Izumi.

"Leeya, apa tidak bisa burungmu disimpan saja di rumah? Burung pipitnya berisik dan mengganggu pengajaran Ibu," kata ibu guru di depan.

Baru juga aku memikirkan tentang kehebohan dengan membawa Izumi ke sekolah, kini sudah kena tegur duluan. Aku ingin sekali menolak Izumi yang bersikukuh ingin mengawasiku dalam bentuk burung pipit. Namun, segera aku berpikir ulang. Bisa saja pihak Central akan menghukumku lebih berat lagi, bukan sekadar mengirimkan pengawas untuk penjelajahan kali ini.

"Maaf, Ibu. Aku tidak bisa jauh bari burung kecil yang imut ini. Sebentar saja melihat sosoknya, aku bisa gelisah dan sering panik. Tidak jauh beda dengan keadaan burung ini jika tanpaku." Aku sedikit mendrama.

Ih, merinding aku bisa beralasan begitu. Sandiwara macam apa yang barusan aku lakukan? Padahal aku sangat bersyukur kalau Izumi tidak di dekatku. Aku bisa bebas melakukan apa pun yang kusuka.

Tuk tuk.

Izumi mematuk diriku dengan paruhnya yang kecil tumpul.

Aku lupa kadang dia bisa merasuk ke dalam pikiranku dan membacanya sesuka hati yang ia mau. Pasti dia marah karena aku bilang bahwa senang kalau tidak ada dia.

"Oh, baiklah, kalau begitu. Tapi ... apa kamu tidak apa-apa kepalamu kena patuk terus?"

Tidak, Ibu. Ini sakit tahu. Harusnya Ibu hentikan burung ini kalau memang kasihan. Ingin sekali aku menjawab begitu.

"Chirp! Chirp chirp chirp chirp. (Kau itu, ya! Sopanlah sedikit pada gurumu.)"

"A-Aku baik-baik saja, Bu. Ini memang bentuk kasih sayang dia ke aku," balasku seraya meraih Izumi dari atas kepalaku dan memegangnya.

Lama-lama aku goreng Izumi jadi santapan makan siangku. Dia sama sekali tidak bisa diam.

Begini saja aku sudah mengeluh, bagaimana selanjutnya? Semoga saja aku bisa bertahan dari cerewetnya cuitan Izumi.

***

Apa misi asliku di sini? Aku juga tidak tahu apa itu. Sampai saat ini Izumi belum memberitahukan secara detail tentang tugasku yang berperan jadi anak sekolahan ini.

Sekolah ini hanya sebagian dimensi yang aku singgahi. Bukan dimensi asli tempat tinggalku. Mungkin kelihatannya saja terlihat normal, tetapi setiap dimensi memiliki ciri khas tersendiri.

"Sekarang sudah sepi." Aku menengok kanan dan kiri untuk memastikan benar-benar sudah tidak ada orang di sekitar kelas. "Baiklah ... Izumi, cepat katakan misi yang harus aku laksanakan selain menyamar menjadi anak sekolahan biasa," desakku pada si burung.

Segara saja cahaya menguar dari sang pengawas, begitu redup tampak pemuda dengan rambut hijau kalem dan pinggiran helaian rambut warna kuning di dekat telinganya. Sederhananya, Izumi mengubah dirinya menjadi manusia.

Aku berdecak sebal. "Kenapa tidak dari tadi saja menjadi manusianya?! Lebih mudah kamu jadi siswa juga daripada menggunakan wujud burung pipit."

"Terserahku mau bagaimana. Di sini aku hanya sebagai pengawas. Bukan menjalankan misi sepertimu, Leeya."

Apa memang bisa seperti itu? Kurasa Center menempatkan Izumi bersamaku bukan menjadi pengawas semata. Aku yakin pasti ada maksud lain.

"Singkatnya, kelas yang kau tempati sekarang isinya siswa bermasalah semua. Dan kamu bertugas untuk menyelesaikan masalah mereka semua tanpa terkesan blak-blakan dan terang-terangan," jelas Izumi dengan begitu enteng.

Dia pikir ... aku ini psikolog atau psikiater kah? Tempat penyelesaian masalah? Ah, sudahlah, masalah anak sekolahan apa, sih, biasanya juga masalah simpel. Bukan sesuatu yang berat.

"Aku ada satu permintaan," kataku, "aku mau kamu dalam wujud manusia saja, agar aku bisa mengobrol bebas tanpa ditatap aneh oleh orang lain."

"Permintaan ditolak. Menjadi manusia itu merepotkan. Selama di hadapan penduduk dimensi ini, aku akan tetap dalam wujud burung." Tanpa ada pertimbangan terlebih dahulu, Izumi langsung menolak. Tentu secara senang ataupun kesal, aku harus menerimanya.

***

Karena sudah tahu apa yang harus aku kerjakan, maka dengan ini aku tidak sungkan lagi mulai melakukan pendekatan kepada anak-anak kelas. Secara diam-diam pula menyelidiki permasalahan mereka.

Paling mudah dulu, si ketua kelas. Dia mudah sekali untuk dibuka. Di kelas, dia memang terlihat ceria, tetapi mataku yang jeli ini beberapa kali menangkapnya termenung dalam.

Maaf saja keingintahuanku yang berlebihan ini, tapi sungguh aku jadi penasaran. "Lagi punya masalah, ya? Nggak apa-apa cerita aja. Siapa tahu aku bisa bantu," tawar diriku. Mengangetkan si ketua kelas yang tadinya melamun jauh.

Ini masih awal kisah perjalananku. Pasti masih banyak lagi teka-teki yang harus aku pecahkan agar bisa membuka dimensi selanjutnya.

Jadi ... tetap semangat wahai diriku!

TAMAT

Historia: Traveler UniverseWhere stories live. Discover now