그날

9 0 0
                                    

Leiden, October 2020

Udara sejuk Leiden memasuki rongga pernapasan setiap orang yang hinggap di kota tua itu tidak terkecuali seorang wanita berkacamata cokelat yang kini mengendarai sepeda nya dengan wajah sesekali menunduk kebawah, malu.

Ini hari Jum'at. Tidak begitu banyak orang yang berkeliaran di pagi hari.
Wanita bernama Park Nara itu memarkirkan sepedanya di depan sebuah cafe kecil berdesign luar kuno. Dia mengangkat kakinya dan berjalan masuk perlahan hingga suara lonceng berbunyi menandakan bahwa seseorang baru saja memasuki tempat itu.

"Hey, kamu datang pagi sekali hari ini." Sapa Andrew, barista yang bekerja di sana yang sudah seminggu ini menjadi teman berbicara Nara selama di Leiden karena hampir setiap hari dia mampir.
Nara tersenyum tipis dan mengangkat buku tebal di tangan kanan nya, sebuah buku berjudul The Girl Who Drank The Moon yang kini tinggal setengah halaman lagi yang belum ia baca.
"Di Apart terlalu berisik, aku lebih senang membaca disini." Andrew terkekeh kecil, "Cafe latte seperti biasa?" Nara mengangguk kecil, setelah itu dia melipir ke belakang dan duduk di kursi pojok dengan jendela besar yang menghadap langsung ke jalanan.

Park Nara, wanita kelahiran Seoul berdarah setengah Jerman dan Korea itu sudah menghabiskan waktunya selama tiga minggu ini di Belanda. Dia memutuskan untuk pergi ke Leiden sebagai bentuk pelarian nya dari tempat-tempat di Seoul yang membuat nya terpenjara dari luka yang sudah dua bulan lamanya ini menganga. Tidak ada obatnya, dia tidak tahu apa yang bisa membuat luka di dadanya itu menutup.

Saat pikirannya mengembara jauh entah kemana, telinga kirinya menangkap suara lonceng cafe berbunyi, sontak, kedua mata nya beralih ke arah pintu masuk dan melihat sosok
pria mengenakan kemeja flanel abu-abu dengan rambut panjang di bawah telinga, masuk ke dalam cafe dan duduk tiga meja dari tempat nya duduk. Menghadap ke arah Nara.

Pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah pria yang selama satu minggu ini selalu datang ke cafe ini di waktu yang sama dengan Nara. Pria berahang tegas dengan tahi lalat di bawah mata kirinya serta bibir tebal yang pucat itu tidak pernah sekalipun membuka suara kecuali saat dia memesan. Nara sudah seminggu ini diam-diam memperhatikan nya dari kejauhan. Bahkan Nara sanggup menceritakan dengan detail kebiasaan yang pria itu lakukan.

Dia selalu memakai kaos kaki abu-abu yang sama setiap hari, membawa sebuah buku bacaan tentang astronomi dan kemeja flanel abu-abu bergaris yang aneh nya selalu wangi seolah di cuci dan dipakai setiap hari. Rambut nya blonde membelah, memperlihatkan kening putih dan sepasang alis tebal yang memberi kesan dingin.
Matanya indah. Hitam pekat dan garis matanya hanya satu, Nara bertanya-tanya apakah dia juga pendatang dari Korea seperti dirinya? Namun mengapa pria itu terlihat seperti membangun dinding besar di kedua sisi kanan dan kiri, seakan tidak ingin ada satupun orang menembus dinding itu dan berbicara padanya.

Tepat saat dia berkutat dengan segudang pertanyaan di kepala nya, pria kaus kaki abu-abu itu mengarahkan pandangannya ke Nara. Lurus dan tajam.
Nara yang terkejut menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga kirinya dan berdehem kecil sambil berpura-pura membuka lembar demi lembar halaman buku di depannya itu. Tanpa dia bisa hindari, jantung nya berpacu begitu cepat seperti sebuah adrenalin.

"How many feelings can one heart hold?... Infinite, Luna thought. The way the universe is infinite. It is light and dark and endless motion; it is space and time, and space within space, and time within time. And she knew: there is no limit to what the heart can carry."—Kelly Barnhill, The Girl Who Drank The Moon

Dia membaca setiap kata di halaman itu dengan seksama. Berusaha mencerna sekaligus mengaburkan keinginan dirinya untuk melihat apakah pria itu masih ada disana atau tidak.
Setengah mati dia berusaha menahan diri, namun pada akhirnya dia tidak bisa. Nara mengangkat kepalanya dan melirik ke arah tempat pria tadi duduk, namun sosok itu sudah tidak ada disana.
Hingga suara husky seorang lelaki menyapa indera pendengarannya.
"Saya boleh duduk disini?"
Nara terkaget karena pria itu sudah berdiri di sebelahnya.
"Oh, iya. Boleh kok."
Manis.
Bisik Nara dalam hati saat wangi parfume pria itu terhembus angin.
Wangi nya seperti parfume Tom Ford Oud Wood.

"Kamu suka baca buku juga?" tanya Nara setelah hampir sepuluh menit saling terdiam.
Pria itu melirik buku yang di bawa Nara, "Iya. Saya lihat kamu juga suka baca, fantasi?"
Nara mengangguk. "Kebanyakan buku di tempatku tentang fantasi, tapi aku juga suka genre metro pop. Kalau, kamu? Cuma suka buku-buku pengetahuan luar angkasa?"
"Oh sorry, aku harap kamu ngga salah sangka, karena kebetulan setiap hari aku disini, aku selalu lihat kamu baca buku-buku tentang astronomi." Lanjut Nara takut jika pria itu berpikir bahwa selama ini dia memperhatikan nya diam-diam. Walaupun jelas sekali kelihatannya begitu.
"Iya."
"Ah, begitu."
"Lee Jeno,"
Nara mengernyitkan dahinya, "Sorry?"
Pria itu mengulurkan tangan besarnya, "Nama saya Lee Jeno."
Butuh waktu sekitar lima detik bagi Nara untuk memproses rentetan kejadian yang begitu tiba-tiba itu hingga akhirnya dia menyebutkan namanya, "Park Nara. Salam kenal, Jeno ssi."

Jadi tebakan Nara selama ini benar, Pria itu berasal dari korea seperti dirinya.
"Kamu disini sudah lama?" tanya Nara sembari menyeruput gelas kopi yang sejak tadi memandang seakan memohon untuk di minum.
"Dua tahun. Kamu?"
Nara yang mendengar itu, entah mengapa tangannya tiba-tiba menurunkan kembali gelas yang semula ia genggam.
Matanya terbelalak lebar, "Lama juga ya, kamu kerja disini? aku baru sebulan di Leiden."
Jeno memandang Nara dengan ekspresi yang tidak bisa ia baca. "Saya arsitek. Kantor saya di Seoul."
"Ohh, selama dua tahun berarti sering bolak balik ke Seoul dong ya?"
Jeno sempat terdiam. "Belum pernah."
Nara yang tadinya excited mendadak diam. Dia melihat pantulan dirinya dirinya di mata Jeno yang berubah sendu saat menanyakan kepulangannya ke Seoul.

Ada apa?
Kenapa dia belum pernah pulang ke Seoul selama dua tahun jika dia bekerja disana? Apa ada sesuatu yang terjadi sampai Jeno tidak bisa pulang?
Begitu banyak pertanyaan yang ingin dia sampaikan, namun ia urungkan karena dia tahu itu tidak sopan. Terutama untuk orang seperti Nara yang baru tiga puluh menit duduk dan berkenalan dengan Jeno.
Sedangkan Nara tahu betul alasannya enggan untuk pulang ke Seoul. Karena disana hampir setiap sudut kota itu mengingatkan dirinya pada Jaemin. Seseorang yang seharusnya beberapa bulan lalu sudah menjadi pasangan hidup nya.

Nara tidak bisa pulang karena dia tahu dia akan terluka jika harus bangun setiap hari dengan luka menganga lebar, walaupun luka itu belum menutup bahkan sejak dia berpindah-pindah tempat selama delapan bulan dan memutuskan untuk tinggal di Leiden, Nara tahu dia belum siap untuk kembali kesana dan memiliki kemungkinan besar untuk bertemu pria yang sampai saat ini masih dia teriakkan namanya itu dalam hati.



-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Continue—

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 12, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Anaheim | JENO Where stories live. Discover now