Prolog

5 0 0
                                    

Pukul 10 malam, di empat tahun kedepan masih ada gadis cengeng. Menangis sambil menulis. Dia pikir dia kuat, nyatanya tidak. Dia pikir dia hebat bisa menahan semuanya sendiri, oh jelas tidak. Dia tetap gadis cengeng.
Menjadi orang asing di kota oranglain, menjadi manusia baru yang harus pandai beradaptasi.
Duduk di depan roti yang sudah setengah ia makan sambil ditemani lagu bertaut nadin amizah.
Berharap semua selalu baik-baik saja, berharap hidupnya lurus-lurus saja, nyatanya tidak. Mungkin tidak pernah.
Sendiri, melamun. Mencari arti dari semua yang ia jalani. Mencari titik akhir hidup yang ia lewati.
“Aku jadi apa ya nanti?”
“Apa bisa membuat ibu tersenyum disana?”
Memikirkan masa depan memang rumit. Tapi gadis ini tidak pernah ingin menjadi rumit, ia selalu ingin sederhana. Memikirkan hari ini selesai dan menjalani dengan tulus, lalu besok bangun dengan alur yang tetap sama.
tujuhbelas tahun yang tidak pernah bisa di lupakan, dengan kehilangan ibu menjadi saksi bahwa tujuh belas tahunku sangat berarti. Menemani hari-hari terakhirnya selalu dengan tawa, sampai tidak bisa menebak ibu akan pergi begitu saja. Saat itu, hatiku ikut mati. Ikut terkubur bersama jasad ibu.
Hidupku di ambang kebingungan, melewati hari-hari tanpa bercerita di malam hari dengan ibu di ruang tengah depan televisi. Tidak ada candaan hangat lagi, sejak saat itu rumah terasa dingin dan sepi. Ibu yang pergi, tapi kehangatan rumah juga ikut pergi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 15, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tujuhbelas TahunWhere stories live. Discover now