2 - Tidak Lebih, Seharusnya

100 16 9
                                    

Kadang ada hari di mana ketika waktu berputar-situasi dan kondisi hati kita tidak selalu buruk, ada masa di mana kita dapat merasa santai hari itu, kadang kala pun merasa sesak dan pengap. Namun hari ini Sa Ra tidak merasa begitu sesak meski sebenarnya ia ingin hidupnya berjalan seperti ketika kita tengah bernafas lega.

Hari sudah malam, Sa Ra tidak perlu pulang larut. Ia pulang seperti biasa-
tepat waktu, beruntung pula ia tak perlu berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Sa Ra hanya perlu berjalan sekitar sepuluh menit melewati gang yang tak terlalu sempit untuk sampai ke rumahnya.

Di saat itu pula ia merogoh ponselnya yang bergetar dari dalam saku jaketnya. Ada sebuah pesan masuk. ["Sa Ra-ya, pinjamkan aku uangmu. Aku harus mentraktir pacarku."]
["Akan kuganti dua kali lipat."]

Sa Ra masa bodoh, ia pun menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Sa Ra tahu kata ganti tidak akan ada di kamus kakaknya tersebut. Kakaknya itu hanya akan menjadi lintah yang akan menghisap habis darahnya. Tanpa mau mengganti darah Sa Ra yang sudah ia telan habis untuk bertahan hidup.

"Hei, kau mengabaikan pesanku?"

Sialan! Sa Ra mengumpat dalam hati ketika ia mendapati sang lintah tengah menunggunya di depan rumah. Ia tidak peduli pada presensi sang kakak, ia terus melanjutkan langkah setelah menghela nafas samar ketika mendapati tatapan kesal kakaknya tersebut karena telah diabaikan. "Pinjam aku uangmu."

Pakai uangmu sendiri brengsek.

Sa Ra tetap melangkah menuju pintu rumah, ia tidak peduli. Ia menganggap tidak ada orang yang berbicara dengannya.

Namun kakaknya itu kelewat frustrasi, ia menarik pergelangan tangan Sa Ra dengan kasar. "Kau tuli??"

"Tidak mau!" Sa Ra berseru seraya menarik kembali pergelangan tangannya.

"Akan kuganti Sa Ra-ya.." Nada suara sang kakak merendah.

"Aku tidak punya uang."

Sa Ra hendak berbalik menggapai tuas pintu namun sang kakak malah menariknya untuk menjauh dari pintu tersebut agar ibu tidak mendengar percakapan mereka. "Pakai tabunganmu."

Sontak kening Sa Ra mengerut tak habis pikir. "Pakai otakmu Lee Seokjin." Tunjuk Sa Ra pada bagian pelipis sebelah kanannya dengan wajah geram.

"Hei kau!"

Sa Ra berbalik pergi hingga membuat Seokjin stagnan dengan wajah terkejut melihat adik perempuannya itu menatapnya dengan tatapan muak, sehingga hal tersebut membuatnya sangat terhina.

Setelah Sa Ra melepas sepatunya, lagi-lagi ia mendengar suara keributan dari kamar sang adik. Bocah itu selalu saja bermain game. Namun ibu selalu saja membiarkannya.

Tak lama kemudian Seokjin masuk dengan wajah murung, hingga membuat ibu yang tadinya tengah menonton TV jadi beranjak dari sana setelah melihat wajah anak kesayangannya tersebut.

Sa Ra segera melirik sinis ke arah Seokjin yang ada di sampingnya. Sementara Seokjin memasang wajah murung yang Sa Ra tahu bahwa itu hanya lah akting.

"Ada apa dengan wajahmu?" Ibu menangkup kedua pipi Seokjin, dan tak peduli pada putrinya yang juga baru pulang bekerja.

"Hari ini sangat melelahkan Bu."

Samar-samar Sa Ra mendengar suara keluhan Seokjin yang menjijikkan dari dalam kamar adiknya.

"Aigoo... Akan Ibu buatkan kau teh hangat. Cepat bersihkan dirimu."

Di sisi lain, Sa Ra menghampiri Jungkook "Kau tidak ada kerjaan lain selain main game?"

You Can CryWhere stories live. Discover now