2. Permata Cantik

12 4 0
                                    

Setelah semua usaha yang aku lakukan tibalah hari penerimaan mahasiswa. Aku berhasil masuk universitas yang cukup ternama. Aku memilih untuk belajar ekonomi di universitas UNDIP. Hidupku berjalan cukup lancar saat itu. Aku bertemu dengan teman baru. Namanya Silvia, ia gadis kota yang hidup berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya memiliki butik fashionnya sendiri. Saat pertama kali bertemu dia aku berpikir bahwa kita tidak akan pernah dekat karena perbedaan latar belakang. Namun, siapa sangka kita akan selalu menempel kemana-mana. 

Awalnya aku sangat iri dengan Silvia, ia hidup dengan sangat nyaman. Mobil pun ayahnya hadiahkan sebagai ucapan selamat masuk universitas ternama. Sedangkan aku? ucapan selamatpun hanya kudengar sekali, keluargaku lebih sering mengeluhkan biaya kuliah dan biaya hidupku di luar kota. Betapa nyamannya jika aku bisa jadi Silvia yang hidup bak tuan putri dengan mahkota penuh kristal di kepalanya. Melihat hidupnya yang menyenangkan membuatku tersadar bahwa aku hidup seperti pohon tua yang menahan terpaan angin.

Seiring berjalannya waktu, kita semakin dekat dan mulai mengetahui cerita satu sama lain. Ternyata hidupnya tidak semudah yang kubayangkan. Kedua orang tuanya sering bertengkar. Aku tidak tau persis apa yang terjadi di rumahnya, tetapi Silvia selalu mengatakan akan lebih baik jika kedua orang tuanya bercerai saja. Mendengar hal itu langsung sadar bahwa pertengkaran kedua orang tuanya memberikan dampak besar terhadap mental Silvia. Permata yang bersinarpun pernah menangis di dalam tanah. 

Saat itu hubungan persahabatan kita sudah memasuki usia 2 tahun. Malam itu aku menginap di rumahnya. Kita membicarakan banyak hal termasuk kesan pertama saat pertama kali bertemu. Tak kusangka-sangka ternyata ia pernah menyimpan rasa iri denganku. Aku bingung sebenarnya apa yang menarik dalam hidupku? Untuk membeli baju saja aku harus berpikir beribu-ribu kali yang pada akhirnya aku tidak jadi membelinya. Malam itu dia memberi tahu aku bahwa hidup memiliki banyak makna. Hidup bukan segalanya berputar-putar pada uang dan ekonomi. 

"Memangnya kenapa kamu pernah iri sama aku?" tanyaku.

"Bukannya kamu juga?" Silvia bertanya balik dengan tersenyum tipis.

"Itu kan wajar, sedangkan kamu aneh kalau pernah iri denganku."

"Menurutku kamu itu orang paling kuat di dunia. Kamu selalu berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Menyerah tidak akan menjadi salah satu opsi di dalam hidupmu. Aku bahkan jarang sekali mendengarmu mengeluh. Kamu selalu menjalani semuanya seakan-akan sudah tau apa yang akan terjadi. Menurutku sifat seperti itu bukan hal yang bisa dimiliki semua orang." 

Mendengarnya berkata seperti itu membuat hatiku terenyuh. Ternyata begini cara sahabatku memandang diriku. Selama ini aku selalu melihat nilai diriku berdasarkan uang yang kumiliki. Ternyata pikiranku adalah pikiran orang-orang kolot. Harusnya aku bersyukur bisa sampai ke titik ini. 

Cahaya Hati NeviraWhere stories live. Discover now