18

2.9K 394 11
                                    

Arveno melangkah keluar dari ruang rapat menuju ruangannya. Pria itu sempat melirik wajah Kinan yang sedang serius dengan pekerjaannya. Masuk ke dalam ruangannya, Arveno melihat segelas jus lemon yang sudah ia pesan.

Menyesapnya sedikit, kening pria itu mengerut. Mengambil telepon di atas meja, kemudian ia berbicara dengan suara pelan, "masuk."

Tak lama pintu diketuk dan terbuka menampilkan sosok Kinan yang langsung masuk menghampiri meja di mana Arveno berada.

Arveno menatap Kinanti. "Kenapa jusnya asem sekali?"

Kinan mendongak menatap Arveno dengan tidak percaya. "Bos, seriously, Bos tanya ke saya kenapa jusnya asam?"

Arveno diam menatap Kinanti menunggu pembelaan apa yang akan diucapkan oleh wanita di hadapannya.

"Bos, namanya jus lemon, pasti ada asam-asamnya. Bos sendiri yang bilang ke Bambang kalau bos enggak mau jus jeruk karena manis."

"Saya memang bilang seperti itu ke Bambang." Pria itu mengambil posisi duduknya. "Tapi bukan berarti saya menginginkan jus yang paling asam. Kamu coba sendiri."

"Idih, ogah. Saya enggak suka lemon. Bos habisin aja sendiri." Kinanti melambaikan tangannya kemudian duduk di seberang Arveno tanpa diperintahkan. "Lagian saya heran dengan bos, sudah bagus dikasih jus jeruk yang manis, ini malah request yang asam. Salahkan diri sendiri, jangan salahin saya."

Ekspresi wajah wanita itu terlihat cemberut menatap atasannya. Arveno mengambil seteguk minuman di dalam gelas kemudian bangkit berdiri. Pria itu kemudian memutar kursi yang diduduki oleh Kinanti.

Menarik dagu wanita itu ke atas, tanpa basa-basi ia menunduk kemudian menyatukan bibir mereka. Arveno menggerakkan lidahnya membuka gigi Kinan dengan lidahnya kemudian memasukkan jus lemon dari dalam mulutnya ke mulut Kinanti dan mendorongnya hingga gadis itu menelannya.

Hidung Kinanti mengerut lucu dengan mata melotot menatap ke arah Arveno seolah ingin menelan pria itu hidup-hidup. Apalagi saat merasakan lidah pria itu bergerak membelai bibirnya dari ujung ke ujung.

"Arveno setan iblis! Hiyaaa!"

Kinanti yang sadar langsung mendorong Arveno dengan kasar kemudian memutar lengannya seperti baling-baling dan melayangkan tinju kecilnya ke perut pria itu yang tertutup kemeja berwarna hitam.

Arveno meringis merasakan pukulan kecil di perutnya. Sementara sang pelaku kini berdiri tegak dengan kedua tangan yang diletakkan di pinggang sambil melotot menatap tajam pada sosok atasannya yang sudah melecehkannya.

"Lo benar-benar, ya Arveno Adijaya! Kalau lo mau minum yang asam, minum aja sendiri! Enggak usah lo memaksakan diri untuk nyobain ke gue juga."

Arveno yang sadar segera menegakkan tubuhnya. Pria itu menatap Kinanti dengan mata tajamnya.

"Sebagai tunangan dan sebentar lagi kita akan menikah, tentu saja enggak masalah kalau kita harus berbagi. Termasuk--" pria itu menatap gelas di atas mejanya. "Jus lemon asam yang kamu berikan ke saya."

"Tapi itu kemauan bos bukan kemauan saya!"

"Ini juga kemauan saya untuk memasukkannya ke mulut kamu."

Arveno membalas dengan santai kemudian kembali ke mejanya. Pria itu menatap Kinanti yang masih berdiri dengan penuh semangat di hadapannya.

"Ganti dengan jus jeruk yang super dingin. Lemon ini untuk kamu saja."

"Minum aja sendiri, telan sendiri!"

Wanita itu kemudian berbalik pergi, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Arveno.

"Enggak menuruti apa kemauan saya, tinggal potong gaji 3%, selesai. Gaji kamu 3% akan saya berikan ke Bambang. Bagaimana?"

"Arveno Adijaya!"

Suara raungan marah Kinanti akhirnya terdengar di seluruh penjuru ruangan yang ditempati oleh Arveno.

Pulang dari kantor, Arveno membawa Kinanti menuju ke pusat perbelanjaan. Kinanti yang merasa senang tentu saja setuju, karena ia tahu Arveno pasti akan memberikannya sesuatu.

Jiwa matre wanita itu akhirnya muncul ke permukaan. Senyumnya terus melebar dari telinga kanan ke telinga kiri, hingga membuat Arveno yang melihatnya takut jika gigi wanita itu akan mengering.

"Tutup bibir kamu itu. Terlalu sering keluar, bakalan kering. Kalau kering pasti bau. Saya enggak mau mencium bibir kamu kalau bau busuk," kata Arveno kejam.

Kinanti langsung mengerucut bibirnya menatap tunangan sekaligus atasannya dengan kesal.

"Bos sirik aja. Enggak bisa melihat saya bahagia sedikit."

Arveno diam tidak merespon.

"Bos mau ajak saya ke mall atau ke butik? Kalau mau beli baju-baju, sebenarnya punya saya masih banyak di rumah. Bagaimana dengan tas saja?"

Kinanti segera bertanya dengan antusias. Dia lebih tertarik pada tas karena jujur saja pakaiannya masih banyak di dalam lemari. Sementara tasnya belum terlalu banyak karena selama ini harga satu tasnya cukup mahal dan ia cukup enggan untuk membeli sebuah tas dengan uangnya sendiri. Berhubung Arveno membawanya secara langsung, tentu saja ia akan lebih memilih tas.

"Memangnya siapa yang bilang kalau saya akan membelikan kamu?" Arveno menoleh menatap Kinanti.

"Terus, apa, dong? Bukannya bos ajak saya pergi buat beli tas atau dress? Tadi Bos sendiri yang bilang, jangan enggak mau mengaku." Kinanti segera mengacungkan jari telunjuknya ke Arveno.

"Saya memang bilang sama kamu untuk menemani saya membeli baju ataupun tas. Tapi, bukan untuk kamu." Pria itu menjawab sambil melirik ke arah tunangannya. "Kamu enggak lupa kalau saya mendapat undangan ulang tahun dari anaknya Pak Yosef 'kan?"

Kinanti ingat jika undangan anak dari Pak Yosef itu datang kemarin. Itu adalah jenis ulang tahun anak perempuan Pak Yosep kalau tidak salah yang ke-25. Arveno diundang dan tentu saja pria itu akan jalan. Tapi, apa perlu pria itu turun tangan sendiri untuk membeli kado? Batin Kinanti mulai bertanya-tanya.

"Terus kenapa bos bawa saya? Kenapa enggak suruh orang lain aja yang beli kado?" Wanita itu menatap tidak terima pada Arveno. Perasaan tidak suka menjalar di hatinya saat tahu jika pria itu jalan sendiri untuk membeli kado.

"Karena anak Pak Yosef itu perempuan, kamu juga perempuan. Kalian pasti satu selera. Jadi, tidak ada yang salah."

Segera setelah itu keheningan terjadi di dalam mobil. Kinanti tidak mau bersuara lagi karena sekalinya bersuara, hanya akan ada makian yang terlontar dari mulutnya. Sungguh ia membenci sikap Arveno yang mirip seperti iblis ini, batinnya berujar sinis.

Kemudian mereka mendatangi sebuah toko tas branded terkenal yang berada di pusat perbelanjaan.

Meskipun enggan, Kinanti akhirnya memilih sebuah tas berwarna merah yang terlihat cukup mahal. Segera setelah itu ia menunjukkan pada Arveno yang langsung segera setuju dengan pilihan wanita itu.

Arveno kemudian membawa Kinanti untuk pergi ke toko jam dan pakaian. Tidak lupa toko sepatu juga mereka kunjungi.

Bibir Kinanti sudah maju beberapa senti sejak memasuki toko jam hingga saat ini mereka berada di toko sepatu. Parahnya lagi Kinanti lah yang membawa semua barang yang dibeli oleh Arveno.

Ingin rasanya ia melemparkan semua paper bag di tangannya ke wajah Arveno. Namun, memikirkan gajinya yang beberapa persen sudah dipotong, Kinan dengan enggan akhirnya menutup mulut.





[4]  My wife My Secretary Where stories live. Discover now