16. BB Cream

3.4K 450 39
                                    

Kalau ada yang lebih lebar dari dunia ini, maka jawabannya adalah senyum Cinnamon saat menyadari kalau pakaiannya dan Kale sangat serasi, persis seperti pasangan yang sedang berkencan. Meski hanya warnanya saja yang mirip, tapi tetap menciptakan kupu-kupu di perut wanita itu.

Padahal, mereka tak janjian untuk menggunakannya. Apalagi, dalam balutan casual shirt with two pockets berwarna putih yang dipadukan dengan celana chino berwarna khaki, Kale tampak sangat-sangat tampan, tak kalah keren dari muda-mudi yang menghadiri konser.

Iya, Kale menepati janjinya untuk ikut menonton konser bersama Cinnamon. Hal itu tentu menjadi peluang bagi Cinnamon untuk melunakkan hati Kale yang sekeras baja. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang tak datang berkali-kali.

"Ini memang harus desak-desakan? Nggak disediain tempat duduk?"

Cinnamon menoleh ke belakang tatkala Kale angkat suara. Alih-alih berdiri di sebelahnya, Kale justru memilih untuk berdiri di belakang Cinnamon. Entah apa alasannya, yang pasti Cinnamon merasa nyaman berada di posisi tersebut, seperti dijaga oleh pria itu.

"Namanya juga temanya outdoor. Kalau indoor kemungkinan sih, ada." Karena suara musik yang cukup keras disertai teriakan penonton, Cinnamon harus sedikit meninggikan suaranya agar terdengar.

"Kenapa nggak cari yang indoor?" tanya Kale lagi, dengan wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan. Bukan. Bukannya dia enggan berdesak-desakan, hanya saja dia sedang bersama Cinnamon yang bertubuh mungil. Dia takut kalau-kalau nantinya Cinnamon terinjak atau parahnya tergencet penonton lain—alasan mengapa Kale berdiri di belakang Cinnamon, semata-mata untuk melindungi wanita itu.

"Kenapa? Kamu nggak suka? Risih?" Cinnamon was-was. Jangan sampai kencannya kali ini gagal lagi gara-gara Kale tidak suka dengan tempatnya. Dia sudah berpenampilan sekece mungkin—rok mini berwarna khaki dan kemeja putih oversize—untuk menarik perhatian Kale, tentu dia tak mau kalau ini berakhir mengenaskan seperti sebelum-sebelumnya.

"Enggak. Bukan apa-apa." Kale menjawab cepat. Lebih baik dia tak memberi tahu alasannya. Cinnamon bisa besar kepala nanti. Alhasil, dia hanya diam, menatap lurus ke depan dan berusaha menikmati penampilan. Sejujurnya, dia enggan untuk datang. Dia lebih suka berada di balik kompor dan berkreasi dengan menu masakan baru sebelum menambahkannya pada menu restoran. Hanya saja, Kale merupakan pria yang menepati janji, semalas apa pun dia untuk melakukannya.

"Ya ampun ... Mbak Raisa cantik banget!" Cinnamon sedikit berjinjit supaya lebih leluasa melihat penyanyi kesukaannya itu hingga tak menyadari kalau ada seorang pria yang berdiri di sebelahnya tengah menatap lekuk tubuh Cinnamon.

Kale bukannya tak melihat. Dia bahkan terus memperhatikan gerak-gerik pria itu. Entah kenapa, ada perasaan tak suka muncul di benak Kale. Mengetahui kalau pria lain menatap tubuh Cinnamon secara terang-terangan dan penuh kekaguman, berhasil memancing amarah Kale. Tangannya terkepal di sisi tubuh, ingin menutup mata pria itu supaya tidak menatap Cinnamon.

Lantas, Kale berdeham cukup keras, yang untungnya didengar oleh pria itu. Dia menoleh ke belakang dan tampak gentar saat melihat wajah Kale yang dingin, seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup. Tak cukup sampai di situ, dengan sengaja, Kale memegang kedua pundak Cinnamon untuk menegaskan kalau Cinnamon bersamanya. Barangkali mengerti, pria itu akhirnya berpaling.

"Kenapa, Kal?" Cinnamon mendongak ketika merasa pundaknya dipegang oleh Kale.

"Enggak. Tangan saya pegel, jadi saya sandarin ke pundak kamu." Kale melepas pegangannya di pundak Cinnamon lalu menggoyang-goyangkan tangannya.

"Capek juga, nggak? Maaf, ya, udah ngajak kamu ke tempat yang bukan kamu banget. Kamu pasti nggak nyaman." Bibir Cinnamon tertekuk ke bawah, merasa bersalah. Kenyamanan Kale nomor satu, meski dia sangat menyayangkan kalau mereka benar-benar harus pulang sekarang. Karena kebahagiaan Kale merupakan kebahagiaannya juga.

"Kamu ngomong apa, sih? Memangnya saya ada bilang kalau saya nggak nyaman? Udah, nonton lagi sana! Penyanyinya ada di depan, bukan di belakang. Kamu senang-senang aja, jangan menoleh lagi." Kale memutar kepala Cinnamon agar menghadap ke depan. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Cinnamon kembali fokus pada Raisa. Dia ikut bernyanyi bersama penonton lainnya, sambil sesekali menggerakkan kepala ke kiri dan kanan, mengikuti ritme lagu.

"Ku terpikat pada tutur Kale, aku tersihir jiwa Kale, terkagum pada pandang Kale, cara Kale melihat dunia."

Kale yang namanya diseret ke lirik lagu oleh Cinnamon, seketika mengerutkan kening. Apa-apaan wanita itu? Bisa-bisanya mengganti lirik sesuka hati, terlebih suara Cinnamon yang cukup nyaring membuat beberapa orang di sekitarnya menatap Cinnamon yang masih anteng bernyanyi.

"Nyanyi itu yang bener, mana ada nama saya di sana," bisik Kale tepat di telinga Cinnamon. Belum sempat dia menjauhkan wajah, Cinnamon tiba-tiba menoleh, membuat bibir mereka berjarak sangat dekat, bahkan hampir menempel.

Keduanya terkejut, tentu saja. Selama beberapa saat, mereka hanya terdiam dengan posisi yang masih sama sampai Kale lebih dulu menjauhkan diri. Dia mengusap tengkuknya, canggung. Sementara Cinnamon langsung menunduk dengan pipi yang bersemu. Hatinya merutuki diri sambil membayangkan kalau hal itu benar-benar terjadi.

Berciuman dengan Kale? Walaupun secara tidak sengaja, istilahnya tetap sama, bukan? Dia memang belum pernah merasakan bibir Kale, tapi dia bisa memastikan kalau bibir pria itu sangatlah lembut dan mungkin ... semanis lolipop? Mengingat Kale tidak suka merokok.

Astaga, Cin! Otak kamu makin kotor, deh!

"Lagunya bagus." Kale menunjuk Raisa yang sedang menyapa para penonton.

Cinnamon mengangkat kepala. "Iya, bagus. Tapi ... Mbak Raisa belum nyanyi lagi, Kal."

Ucapan Cinnamon semakin menambah kegugupan Kale. Sial! Dia belum pernah segugup ini, apalagi dengan seorang wanita. Ceyanne pun tak pernah membuatnya begini. Namun, kenapa dengan Cinnamon dia bisa menjadi pribadi yang berbeda?

Wanita itu ... cukup berbahaya ternyata.

"Maksud saya, lagu yang tadi."

Cinnamon mengerjap dua kali, lalu mengangguk. "Iya, lagu yang tadi bagus, kayak perasaan aku ke kamu."

Oke, enough. Bisa-bisa Kale semakin menggila berada di dekat Cinnamon. Wanita itu memang selalu blak-blakan, ya? Kale tidak suka wanita yang mengejar-ngejar dirinya, dan seharusnya dia tetap mempertahankan prinsip itu. Namun, sekarang. Apakah dia masih memegang prinsip itu semenjak bertemu dengan Cinnamon? Karena nyatanya, dia justru membiarkan Cinnamon melakukan apa pun kepadanya. Padahal, semula dia menolak Cinnamon mati-matian.

Sebenarnya, apa yang salah dengan dirinya? Oh, tidak. Bukan dia yang salah, melainkan Cinnamon. Dia memang tidak percaya dengan dukun—setidaknya di kota-kota besar, jarang sekali terjadi—tapi apa yang Cinnamon lakukan kepadanya, pasti tak jauh-jauh dari ilmu pelet.

"Cin, sebenarnya apa niat kamu deketin saya? Saya coba untuk nggak peduli, but you make me feel bad." Kale menatap mata Cinnamon lamat-lamat, yang baru disadarinya sangat indah.

"Apa? Aku deketin kamu karena aku suka kamu." Cinnamon menjawab dengan pasti.

Kale menelan ludahnya. Menghela napas panjang, dia menyahut, "Jangan, Cin. Jangan semakin jauh, atau kamu akan menyesal nantinya."

***


Halooooo semuaaaa! Annyeong chingu-ya! Balik lagi nih, sama istrinya Lee Jeno, haha.

Apa kabar kalian? Wahh, udah lama gak di lapak ini, aku jadi kangen 🤧🤧

Sekangen Milea ke Dilan Cepmek 🤣

Maaf banget, ya, karena aku baru update. Ehm, mungkin kalian udah eneg baca permintaan maaf aku. Tapi, Lee Syikalina ini benar-benar meminta maaf karena jarang update dan mengunjungi lapak ini, dikarenakan kesibukan nge-fangirl dan juga beberapa project yang kulakukan. Huhu 😭😭

Sooo, di Minggu pertama bulan November ini, aku harap kalian menyukai part ini, ya!

Sampai jumpa lagi, chingu-ya ❤️❤️

Bali, 7 November 2022

A Blessing In Disguise (END)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon