0.2

127 12 1
                                    

Mentari pagi menghangatkan kota Jakarta. Hari ini hari senin membuat jalanan macet karena banyak orang yang ingin memulai aktivitas. Untung saja bel masuk Jakarta High School itu jam 8.15 dan sekarang masih jam 7.30.

Adrina melirik dirinya di kaca spion mobil sambil tersenyum bangga melihat parasnya yang membuat gadis manapun cemburu dibuatnya. Dan tentu saja membuat lelaki manapun jatuh hati kepadanya.

Kecuali Ray. Lelaki yang sangat ia inginkan.

Adrina menutup matanya kemudian membukanya lagi dengan cepat menyadari kenyataan yang membuat dirinya sakit. Ia tidak mengerti mengapa begitu mencintai lelaki yang jelas-jelas tidak menyukainya dan lelaki itu sudah menyukai orang lain. Tetapi karena Adrina bukan orang yang mudah putus asa, ia bertahan untuk mendapatkan perhatian Ray. Bukan karena Adrina mengancam, tetapi karena Ray menyukai Adrina seperti yang Adrina rasakan.

--•--

Ketika Adrina sampai di sekolah, waktu menunjukan pukul 8.00 pagi. Itu berarti lima belas menit sebelum bel masuk berdering. Dengan gerakan cepat, ia berjalan dari parkiran menuju ke lokernya untuk mengambil buku matematika yang sengaja ia tinggal agar tidak memberati tasnya.

"Halo, Adrina." Nata, salah satu anggota cheerleaders menyapanya. Adrina tersenyum tipis lalu melambaikan tangan kepada Nata kemudian membuka lokernya untuk mengambil buku jadwal pertamanya. Beberapa orang yang melewatinya langsung menyapanya yang tentunya langsung ia sapa balik.

Setelah mendapatkan buku matematikanya, ia menutup lokernya dan melihat kesekeliling koridor yang masih ramai.

Namun entah mengapa, ia tetap merasa sepi.

--•--

Kantin sedang ramai, mungkin karena ini jam-jamnya makan siang. Tepat pukul 12. Adrina duduk bersama teman-teman dekatnya.

Candice sahabatnya, Windy teman dekat Candice dan dirinya, dan Terysha, anggota cheerleaders juga.

"Rin, lo tahu ngga Ray lagi deket sama siapa sekarang?" Windy membuka percakapan ketika makanan pesanan mereka semua sudah datang. Adrina menggeleng pelan. "Dia lagi deket sama anak yang ngga terkenal, cantik juga nggak. Namanya Annelise." Ucap Windy sambil merapikan rambutnya dengan jari-jari.

Mata Adrina langsung melihat sekeliling kantin mencari apakah gadis itu ada. Annelise merupakan teman SMPnya dulu, tentu saja Annelise juga satu SMP dengan Ray.

"Anellise Verisha Syafran kan?" Tanya Candice penasaran, karena ia juga satu SMP dengan Annelise. "Iya deh, gatau, dia kan bukan anak famous mana gue tau." Jawab Wendy. "Anak IPA 2 ya, Wen?" Tanya Terysha dan Wendy mengangguk semangat. Adrina menjadi tidak nafsu makan. Dia berdiri sontak membuat semua teman yang ada di mejanya melihat kearah Adrina. "Gue mau nyari dia." Ucap Adrina sinis kemudian membalikan badannya dan mencari keberadaan Annelise yang berani-beraninya mengambil Raynya.

Ray-nya. Ray yang ingin ia milikki sepunuhnya dan ia tidak ingin satu perempuan pun yang dekat bahkan berpacaran dengan Ray kecuali dirinya.

Langkah Adrina berhenti ketika memikirkan hal tersebut, Adrina tersadar. Ia bukan siapa-siapa Ray, dia bahkan sudah terlalu lama mengejar Ray dan sudah terlalu jauh mengejarnya tetapi tiada hasil, hanya keringat yang sia-sia.

Adrina enggan mundur, enggan juga melangkah. Diam di tempatnya berdiri. Dan pada saat yang bersamaan, ada orang yang Adrina cari di hadapannya, Anne. Tetapi ia tidak sendiri, ia berjalan berdua dengan orang yang Adrina incar. Ray.

Dengan itu, rasa cemberu berkobar dalam hati. Rasa cemburu itu membawanya melangkah ke arah mereka berdua.

Kuku-kuku Adrina yang rapi dan cantik karena warnanya yang menarik langsung mencakar tangan Anne membuat si pemilik lengan dan lelaki disebelahnya terkejut.

"Apaan sih lo?" Suara Ray meninggi ketika melihat luka di lengan Anne cukup parah, kulitnya tercakar sampai keluar darah. "None of your damn bussiness. Ini urusan gue sama your new fucking bitch." Ucap Adrina dengan suara cukup kencang untuk menarik perhatian orang-orang yang berada di sekitar mereka. "Adrina jangan gila." Ray mengecilkan volume suara mereka agar orang disekitar mereka tidak tahu menahu akan masalah sepele ini. "Dia bukan siapa-siapa gue," Ucap Anne langsung. "Gue pergi sekarang."

"Jangan. Diem sini, gue masih punya urusan sama lo." Ucap Adrina ketus lalu melipat kedua tangan di depan dada. "Dan, Ray lo boleh pergi sekarang."

"Nggak. Gue ga bakal pergi kalau ngga sama Anne."

"Kayaknya lo ngga kapok-kapok ya, Ray? Lo mau—"
"Ada apa ini? Kok berkumpul di tempat ini segala? Loh, Anne tangannya kenapa?" Suara Bu Fanny mengejutkan Adrina sekaligus mengagalkan rencananya. Dengan refleks Adrina tersenyum manis kepada Bu Fanny. "Ah, Ibu. Saya tadi mau nolongin luka Anne. Tapi dianya nolak terus saya paksa jadi diem dulu deh berdebat dulu." Dengan santai Adrina merangkul pundak Anne sambil tersenyum manis kepada Anne. Anne tersenyum membalas Adrina lalu mengangguk. "Aduh, cepat dong di bawa ke UKS. Nanti infeksi bagaimana? Ayo Ibu antar saja kalau begitu." Ibu Fanny meraih tangan Anne dan berjalan beriringan dengan Anne.

Ray hendak mengikuti Anne tetapi kalah cepat dengan Adrina yang menarik pergelangan tangan Ray. "Apa lagi Rina? Lo kapan tobatnya sih? Karma itu ada."

"Karma is a bitch."

"Rina... Kenapa lo selalu ganggu gue?" Tanya Ray, ada nada kesal ketika ia berbicara. Dan itu membuat Adrina tersinggung. Walau Adrina sangat agresif, dia tetap saja memiliki perasaan yang dimiliki kebanyakan orang. Dengan spontan, Adrina melepaskan pegangan dari pergelangan tangan Ray. Adrina membalikan badan berjalan lurus menyelusuri koridor, dia tidak tahu akan kemana. Yang jelas, jauh dari orang-orang agar ia bisa menenangkan pikiran dan hatinya.

Broken Heart & Still CountingWhere stories live. Discover now