You are enough - Sleeping at last
Sudah dua hari Michelle selalu terduduk sendiri tanpa kehadiran Iksan. Walaupun Michelle penasaran, namun ia tak berani untuk menanyakannya mengapa. Michelle urung untuk sekadar mengiriminya pesan karena memang sedang masa ujian. Mungkin Iksan sibuk belajar dan ingin fokus pada ujian.
Dua hari kemarin Michelle hanya bisa berjongkok tanpa melakukan apapun di tempat rahasianya bersama Iksan itu. Bahkan ia sudah tak lagi menyentuh benda kecil berisi tembakau karena ingat larangan Iksan. Ia memutuskan untuk berhenti merokok. Lagi pula Harto pun tak pernah kelihatan batang hidungnya lagi.
Hari ini setelah menyelesaikan mata pelajaran terakhir di hari akhir ujiannya, Michelle berdiri di pinggir koridor sekolah dengan ransel tergantung di pundak kiri. Matanya mengamati hujan bercampur badai yang menghempaskan pohon-pohon kecil sekolahnya. Banyak murid yang mengurungkan untuk pulang karena sedang hujan deras. Begitu juga Michelle.
Karena tak ada tujuan, langkah Michelle tertuju ke belakang gudang sekolah. Dengan hati-hati ia menyusuri lorong dingin karena bias air hujan. Mungkin ia akan menghabiskan waktu dengan menatap tembok dan langit yang sedang hujan hingga reda di tempat itu, walaupun sendirian.
Michelle terpaku pada sosok Iksan yang tergeletak di bawah derasnya hujan. Ia berbaring di tanah menghadap angkasa dengan kepalan tangan dan rahang yang mengeras. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup.
Dijatuhkannya ransel yang ada di pundaknya. Michelle kemudian menerobos air hujan ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Iksan. Ia pegang kepalan tangan Iksan dan mulai merasakan dinginnya air hujan di sekujur tubuh. Michelle menatap mata Iksan yang terbuka lebar seolah sedang menerima perihnya hantaman air hujan.
Berulang kali Michelle bertanya dalam hati, bagaimana hidup yang Iksan lalui selama ini. Mungkin ada beban yang sangat berat di pundaknya. Atau badai besar yang sedang ia hadapi. Michelle tahu air hujan yang mengalir di wajah Iksan itu bercampur ilu. Genggaman tangannya semakin kuat pada kepalan tangan kiri Iksan.
Tak lebih dari semenit sejak Michelle ikut diguyur hujan bersamanya, Iksan bangkit. Ia menarik Michelle untuk duduk di tepi yang teratap. Seolah tak ingin membiarkan Michelle hujan-hujanan bersamanya. Kini mereka bungkam dengan tubuh yang basah. Iksan masih menatap kosong entah apa objeknya.
Tangan Michelle yang menggigil masih ada di genggaman Iksan yang tak ingin lepas. Michelle terus menatap wajah Iksan. Rambutnya basah, air dari rambut depannya menetes ke pelipis kanannya. Bibirnya pun mulai membiru karena kedinginan.
Menangis di bawah hujan adalah cara Iksan meluapkan semua emosi kemarahannya pada diri sendiri. Ia merasa lelahnya sudah terasa sangat panas di pundaknya. Ia tak pandai berbagi tangisnya hingga membiarkan air matanya melebur dengan hujan.
"Tell me where it hurts?" tanya Michelle pelan.
Butuh beberapa detik hingga atensinya beralih pada sosok Michelle yang sejak tadi tak henti menatapnya. Matanya yang merah menyorot Michelle dengan tatapan lemah. Genggaman tangan kanannya semakin erat meremas tangan kecil Michelle. Tatapan Iksan semakin dalam menyelami matanya.
Mata Michelle memejam perlahan hingga ia merasakan bibir Iksan menyapu bibirnya dengan sangat lembut. Jantungnya menjadi berdegup lebih kencang. Darahnya berdesir ketika bibir dingin mereka berubah menjadi hangat.
Iksan menatap bibir, wajah, lalu mata Michelle yang berjarak kurang dari sejengkal dari wajahnya. Michelle membuka matanya perlahan saat Iksan melepas bibirnya. Netranya membalas tatapan Iksan yang sarat arti.
Deru nafas Iksan membelai hangat wajahnya. Tangan kecil Michelle bergerak merengkuh pipi Iksan. Hidungnya menghirup kulit wajah Iksan yang masih basah dan sedikit dingin. Berulang kali ia mengecup bibir Iksan seolah candu pada ciuman pertamanya.
"Lo tau gak Harto siapa?" tanya Iksan.
Kini keduanya duduk bersandar di dinding dengan jemari saling mengait. Walau Iksan menciumnya tanpa izin, namun Michelle menyukainya.
"Harto over dosis, dia masuk rumah sakit dan harus rehab," tutur Iksan.
"Sebenernya dia siapa?" tanya Michelle.
"Drummer band gue, temen seagensi."
"Jadi selama ini gue salah, gue kira dia penjaga warung depan."
Selama ini Michelle mengira Harto adalah pemuda putus sekolah penjaga warung. Anehnya Michelle tak pernah sekalipun melihatnya di warung depan. Ternyata Harto datang ke lubang ini semata-mata hanya untuk Iksan saja.
"Bokap gue marah besar, dia nentang impian gue jadi musisi," ungkap Iksan sambil tersenyum kecut.
"Gue terima kemarahan dia, toh gue emang salah, gue udah manipulasi semua jadwal les gue dengan pergi latihan ke studio."
"Band gue udah siap debut, nunggu gue selesai ujian, tapi Harto malah..."
Iksan membuang napas kasar.
"Mungkin gue kualat karena bohongin orang tua gue."
"Too many high hopes, too many dissapointments," keluh Iksan.
"Gue udah diusir dari rumah, karena gue milih jadi musisi dari pada lanjut kuliah."
"Lo masih bisa raih mimpi lo sambil kuliah San?" tukas Michelle.
Iksan menoleh dan menatap Michelle.
"Gue udah lelah Cyel, dari umur yang seharusnya gue bisa main lari-larian bareng temen-temen seumuran gue, tapi gue malah harus belajar dari pagi sampe matahari terbenam," jelas Iksan.
"San, pendidikan itu penting, lo bisa masuk Seni Musik."
"Bokap gue mau gue masuk politik, nyokap gue mau gue masuk kedokteran."
Lagi, ia tersenyum kecut.
"Mereka tipikal strict parents who never let me speak," tutur Iksan.
"Then, speak to me!" ucap Michelle tersenyum.
Iksan membalas senyumannya. Kali ini tatapannya penuh kehangatan.
"Did I steal your first kiss?" tanya Iksan.
"Mmmhhh," jawab Michelle dengan sekali anggukan, pipinya merona malu.
"You did too," ungkap Iksan.
Keduanya tersenyum malu mengingat yang mereka lakukan tadi. Ini pertama kalinya bagi mereka selama hidup. Iksan meski sudah pernah berpacaran, namun sama sekali tak pernah bersentuhan. Jadi wajar jika ia merasakan beberapa bunga mekar di hatinya.
"Maaf bikin kamu kedinginan," ucap Iksan saat menyadari jari Michelle sudah berkerut.
Segera ia merengkuh kepala Michelle lalu mendekapnya. Iksan memeluknya erat.
"Thank you," ucap Iksan.
"Gue yang harusnya terima kasih," sahut Michelle.
"For the kiss?" tebak Iksan.
Michelle terkekeh di bahu Iksan.
"Thank you for waking my dream up, make me struggle to myself, for making me trust in hope, then make me realize there are so many loves outside," bisik Michelle di telinga Iksan.
"And thank you for telling me about your life." Michelle melepas pelukannya lalu menatap Iksan.
Yang ditatap tersenyum lalu mengecup kilat bibir Michelle.
"You're welcome."
🖤END🖤
Thx ya sudah membaca, vote and comment.
Guys, buku ini niatnya cuma 5 part aja. Tapi ini sudah lebih dari cukup.Jadi sekian ya...
I love u.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Cookie Conversation | Jeongwoo Minji
Short StoryShort secret conversation