04. The Rainbow Fades, And The Rain Pours.

87 22 10
                                    

Ujian sekolah sudah di depan mata. Terhitung tujuh hari yang akan datang dari hari ini, sekolah akan mengadakannya. Siswa kelas dua belas sudah sangat jarang yang berada di sekolah dikarenakan sekolah memberikan jatah minggu tenang untuk mereka. Namun sebagai siswa teladan, Hilmi dan Aidil selalu hadir. Entah hanya untuk belajar bersama di perpustakaan, atau sekedar mengejar guru-guru yang pelit dengan kisi-kisi mata pelarannya.

Kiki menjadi lebih sering bergabung dengan mereka. Dama hanya sesekali, mengingat ia memiliki lingkaran pertemanannya sendiri. Aidil terlihat tidak terlalu suka dengan hal itu. Namun Hilmi juga tidak bisa melakukan apapun atas dasar kemanusiaan.

Hari ini Aidil ditinggalkan di perpustakaan sendiri, lagi, karena Hilmi pergi membeli minum dengan Kiki. Wajahnya sangat murung dengan kejadian itu, namun tiba-tiba Dama datang menghampirinya. Aidil yang sedang kesal tidak ada pilihan lain selain menyambut Dama dengan ramah.

“Gue denger-denger, lo dapet beasiswa ke LA ya, Dil?” Dama membuka pembicaraan mereka sebelum membuka bukunya dan duduk di kursi kosong di samping Aidil.

Kiki dan Hilmi terjebak antrean panjang karena ternyata waktu mereka membeli minum itu bersamaan dengan jam istirahat adik kelasnya. Jadi sembari menunggu giliran, mereka hanya mengobrol ringan agar tidak merasa terlalu bosan.

“Tapi menurut gue, Rama sama Dama cocok juga, sih. Menurut lo gimana, Mi?”

Hilmi menelan salivanya dengan susah payah ketika mendengar pertanyaan itu dilontarkan. “Iya, cocok-cocok aja kok.”

Kiki tertawa ringan mendengar jawaban Hilmi. “Iya, 'kan. Pantes kalo saling suka juga.”

Tenggorokan Hilmi tiba-tiba terasa tercekat mendengar penuturan Kiki. Ia sudah berusaha, bahkan latihan untuk biasa saja ketika akan mendengar tentang hal ini suatu hari nanti. Namun rasanya terlalu cepat jika hal itu terjadi sekarang.

“Eh, udah giliran kita, tuh.”

Mereka mengambil minumannya dan juga minuman yang Aidil pesan, lalu kembali ke perpustakaan. Di sana, Aidil dan Dama terlihat sedang mengobrol asyik satu sama lain.

Hilmi menarik lengan Kiki dan mengisyaratkannya untuk mengurungkan niat mereka untuk kembali ke ruangan itu. Hilmi tidak ingin mengganggu waktu sahabatnya dengan calon pacarnya. Jadi ia membawa Kiki ke kelas.

Di kelas lagi-lagi kosong, hanya ada mereka dua setelah mereka masuk. Murid-murid di sekolah itu benar-benar memanfaatkan minggu tenang mereka untuk bersantai di rumah atau menyegarkan pikiran mereka dengan cara berlibur.

“Biarin aja mereka pdkt-an, jangan diganggu.”

Kiki terkekeh pelan mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Hilmi. “Tapi kalo gini jadinya kaya kita lagi pdkt-an juga.”

“Ya udah gak apa-apa. Emang lo gak mau deket-deket sama gue?”

Senyuman Kiki merekah mendengar hal itu. Walaupun mungkin ia tahu, Hilmi tidak serius ketika mengutarakannya.

Di dalam kepalanya, Hilmi tengah berdebat dengan dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang benar dan salah? Apa yang akan menjadi baik dan buruk bagi hubungan persahabatannya dengan Aidil?”

“Kok bisa sih, Mi, lo gak naksir sama Aidil? Padahal dia care banget sama lo. Lo gak baper?”

Hilmi mengira-ngira jawaban apa yang dapat mengecoh teman bicaranya saat itu. Meskipun ia tak dapat menyembunyikan rasa gugup dalam sorot matanya, tapi syukur lidahnya dapat dibawa berkompromi.

“Nggak lah! Gue udah kenal dia dari orok. Makan bareng, tidur bareng, mandi bareng, semuanya bareng. Yakali gue suka sama dia.”

Bohong.

HealmeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang