📚 1st formula: REFLECTION

159 30 3
                                    

📚 1st formula:

REFLECTION IN THE BACK OF HIS PHONE


✖➗➕➖


Irene kian panik ketika bel berbunyi.

Padahal ia sudah berangkat pagi-pagi buta, tiba di sekolah tepat pukul setengah tujuh. Sudah tampil profesional dengan rambut yang diikat rapi, tubuh ramping yang dilapisi blouse setengah lengan berwarna putih polos, leher panjang yang dilingkari mini scarf hitam bertotol putih, kaki tak begitu jenjang diselimuti rok tutu hitam, serta telapak kaki bantet yang ditutupi sepatu boots hitam berhak sepuluh sentimeter.

Bersyukur ia bekerja di sekolah Internasional, Syzygy High School cukup fleksibel, jadi guru boleh berpenampilan seperti ini. Ia tak bisa membayangkan bila nasibnya berakhir di sekolah negeri, ia harus mengenakan seragam dinas khaki atau batik biru yang menurutnya... terlalu formal.

Seragam-seragam itu bukan hal yang norak. Tidak. Tentu tidak sama sekali. Bukan itu maksudnya. Hanya saja, ia yang senang memadukan gaya berpakaian bisa mati kutu dan jadi tak bebas mengekspresikan dirinya.

Balik lagi ke cerita awal.

Penampilan Irene sudah sempurna, ia pun tak terlambat, bahkan tiba lebih cepat. Hari ini sarapan yang disediakan oleh sekolah adalah sandwich telur dan ham. Ia sudah mengambil jatahnya. Segelas cokelat hangat dengan sesendok gula habis ia tandaskan, selagi ia berbincang-bincang dengan Miss Wendy si guru Biology, Miss Shel si guru Geography, dan Miss Joey si guru Sastra Indonesia.

Setengah jam sebelum kelas dimulai, Irene mengundurkan diri dari obrolan demi menyiapkan dan mengingat kembali materi yang akan disampaikannya nanti.

"Oke, jadi kaitkan dulu materi dengan dunia nyata. Beri contoh kontekstualnya. Setelah itu, beri satu kasus—"

Tangan Irene hendak membuka video pembelajaran dan file powerpoint yang sudah disusunnya semalam suntuk. Tetapi, alih-alih menyentuh touchpad laptop, jemarinya justru meraba permukaan mejanya saja. Maniknya segera beralih dari catatannya, lalu membelalak terperanjat.

"Astaga, cerobohnya!" pekiknya, langsung menepuk kepala.

Wendy Whisper yang duduk tepat di sampingnya tentu mendengar, "Lo kenapa?"

"Wendy! Gue lupa bawa laptop! Gimana, nih?" rengeknya, pada teman satu kampusnya dulu.

Shel Gionita—bisa dipanggil Shel atau Shelgi—yang duduk di seberangnya ikut menimbrung, "Pakai laptop sekolah aja. File-nya udah sempat kamu kirim ke email sekolah, kan?"

Irene tertegun sejenak, kemudian menghela napas putus asa. Ia menggeleng, "Lupa gue kirim, Shel. Semalam gue udah mengantuk banget, jadi gak kepikiran lagi."

"Yah, terus gimana, dong?" Wendy ikut iba. "Di rumah lo ada orang?"

"Ada Bunda gue, sih," jawab Irene, "Tapi, kayanya gak bakal sempat mengirim file-nya, ukurannya besar. Pasti lama, sedangkan Bunda jam segini udah siap-siap berangkat. Mau gak mau pakai Getsend, deh."

"Lo mengajar jam ke berapa?" tanya Joey Kirana yang duduk di samping Shel. 

Teman satu kampusnya juga. Makanya, ia, Wendy, dan Joey sudah terbiasa berkomunikasi secara santai dan informal. Sementara dengan Shel, mereka beda kampus, jadi baru mengenal wanita itu begitu menjadi guru di Syzygy. Tetapi, selama ini, mereka cocok berteman dengan Shel.

Wajah Irene memelas, "Jam pertama."

"Ya ampun, cepat hubungi Bunda lo sana! Kurang dari setengah jam lagi bel bakal bunyi," suruh Joey, jadi ia yang panik.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SCIENTIFICALLY IN LOVEWhere stories live. Discover now