bab 4 (3 KBM)

534 168 19
                                    

Angin berembus menerpa wajah Arkam, dia berdiam diri di jembatan, darah menetes dari tangannya. Jatuh ke aliran sungai yang deras.

Mobil dan motor berlalu lalang di belakangnya, tidak melihat wajah Arkam yang penuh luka. Dia mengingat kembali kenapa bisa berada di sini.

Seminggu yang lalu hidupnya masih baik-baik saja, rumahnya lunas setelah 7 tahun nyicil, karirnya sebagai DPRD penuh dengan sanjungan dan prestasi. Bahkan, ia akan menjadi menteri. Semuanya sangat sempurna.

Tapi rumah barunya tiba-tiba meledak, lalu satu persatu tragedi mulai terjadi. Ada sekelompok orang yang ingin membunuhnya. Mereka bersenjata dan brutal.

"Kalau aku mati, apa keluarga ku bisa kembali lagi?" Gumam Arkam. Dia melihat ke bawah.

Setelah tragedi rumah meledak, dia hampir tertabrak truk tepat di depan rumahnya. Beruntung Ayah datang menyelamatkannya, membuat Ayah kini koma di rumah sakit.

Tak cukup sampai di situ, Bunda juga melindunginya. Menggantikan dia ditusuk orang yang tidak dikenal. Sekarang bunda dirawat di rumah sakit juga. Sementara adik-adiknya, mereka tiba-tiba menghilang.

Nana dan Harits mungkin diculik. Arkam sudah lapor polisi tapi tidak ada jejak sedikit pun dari mereka berdua. Polisi masih melakukan pencarian.

"Aku lapar ...." Gumam Arkam.

Dia ingin mati, tapi juga ingin makan bebek goreng. Dia bingung mau mendahulukan yang mana.

Dia pikir kalau dia mati seperti keinginan para penjahat, maka kedua adiknya bisa kembali, lalu orang tuanya bisa sembuh.

"Dia di sana!"

Beberapa orang mengejarnya, Arkam segera menoleh, merekalah orang yang menginginkan dia mati. Arkam pernah mencoba mengajak mereka bicara, tapi mereka malah menyerangnya hingga terjadi kejar-kejaran seperti ini.

"Bunuh dia!" Mereka berlari membawa celurit.

Sebenarnya Arkam bisa saja lompat ke sungai seperti keinginannya tadi, atau menyerahkan diri untuk dibunuh. Tapi keinginannya makan bebek goreng lebih besar dari semua itu.

"Aku masih ingin makan bebek goreng!"

Arkam segera berbalik dan berlari kencang, dia mengutuk orang-orang jahat itu. Berulang kali dia mencoba mengingat siapa yang membencinya. Dia merasa tidak pernah menyakiti siapapun. Apa mungkin ada yang sakit hati, tapi dia tidak tahu?

"Kenapa aku harus ngalamin ini, sial!"

Untuk pertama kalinya, dia mengumpat. Lari sekencang mungkin tanpa peduli tangannya berdarah. Pelipisnya juga bocor, darah mengalir ke pipi.

Padahal tadi dia susah payah lepas dari mereka, lalu merasa putus asa dan hendak bunuh diri. Tak disangka dia ingin bebek goreng.

Angin berembus kencang menerpa wajahnya, Arkam terus berlari menuju keramaian. Kakinya mulai sakit dan napasnya ngos-ngosan.

"Awas! Minggir!" Teriak Arkam pada penjual asongan.

Dia menabrak si penjual asongan hingga terjerembab, tak ada waktu untuk minta maaf, Arkam kembali berlari kencang.

"Woy!" Teriak penjual asongan, tidak Arkam hiraukan.

Dia hanya ingin selamat dan makan bebek goreng, selanjutnya pikirkan nanti.

Tiba-tiba tangannya ditarik menuju gang sempit, seorang wanita berpakaian hitam. Si ahli dalam bunuh membunuh.

"Aya?"

"Ssstt."

Aya membungkam mulut Arkam, mendekatkan tubuh mereka. Wanita itu melindungi Arkam dari kejaran. Setelah para penjahat melewati mereka. Aya melepaskan Arkam yang kesakitan.

kamuflaseWhere stories live. Discover now