.1
- Returning -
 ☁ . ☁ . ☁ . ☁ . ☁
"The last memories as a child during hide and seek, did you find me?" — About Time, Hoppipolla.
☁ . ☁ . ☁ . ☁ . ☁ 
     Saat aku membuka mata, yang pertama menyapaku adalah hembusan hangat angin musim panas, juga langit biru berawan yang terhampar serupa permadani sutra.
     Aku mengerjap beberapa kali, berusaha membiasakan diri dengan cahaya di sekelilingku. Perutku tak lagi mual seperti saat aku pertama kali melakukan perjalanan ini dulu. Namun rasa melayang, rasa seolah tak berpijak itu tidak pernah benar-benar pergi. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya berulang kali, berusaha menenangkan diri.
     Saat rasa melayang itu tak kunjung hilang, aku tersadar bahwa sedari tadi tubuhku terbaring di atas kain elastis trampolin yang bergerak samar. Aku merangkak ke tepi dan duduk dengan kaki menggantung pada plastik kokoh yang membingkai trampolin tersebut. 
     Di bawahku, ada genangan air dangkal sisa hujan. Refleksi yang terpantul di sana adalah seorang anak perempuan dalam balutan kaus lengan panjang merah muda. Rambutnya dikuncir dua dengan ikat rambut bermotif stroberi yang senada dengan jepit rambut yang tersemat di kedua sisi kepalanya. 
     Aku menoleh sedikit ke kiri. Refleksi itu mengikutiku. Kuangkat satu tangan ke udara. Sebuah tangan mungil ikut terangkat di hadapanku. Aku tersenyum, yang dibalas pantulan itu dengan senyum yang sama. Dia tampak manis dengan jajaran kawat gigi yang terpasang rapi. Sekilas, aku menangkap luka yang mulai mengering di lutut kanannya. 
     Semua detil itu cukup untukku menyimpulkan bahwa saat ini tubuh yang kuhuni berusia sembilan tahun.
     Beruntung aku sudah berhasil mengendalikan diri karena selang beberapa detik seorang anak laki-laki tiba-tiba melompat ke atas trampolin, membuat tubuhku terlempar ke belakang sedikit, lalu melayang rendah sebelum kembali menyentuh permukaan kain. Anak laki-laki itu terkikik pelan, tampak puas dengan aksinya. Napasnya sedikit tersengal saat dia berbaring di sebelahku. Namun senyumnya tak tampak lelah sedikit pun saat dia menoleh padaku.
     Namanya Tobi. Dia sahabatku.
     Setidaknya masih, untuk saat ini.
     Aku pertama mengenal Tobi di pesta ulang tahunnya yang ke-lima. Tobi adalah anak sahabat Ma, dan seperti dua orang ibu yang bersahabat lainnya, mereka memastikan agar anak-anak mereka saling mengenal. Usiaku masih terlalu kecil sehingga aku tidak bisa mengingat dengan jelas bagaimana pertemanan kami bermula. Ma bilang sesuatu yang berhubungan dengan kue cokelat. Aku tidak terlalu yakin, tapi aku memilih untuk percaya.
     Yang jelas, sejak saat itu, aku dan Tobi tak terpisahkan.
     Kami melalui banyak hal pertama bersama–kunjungan perdana ke dokter gigi, tahun ajaran baru sekolah dasar, menaiki roller-coaster yang sebenarnya tidak terlalu menyeramkan. Kami berbagi segala hal–potongan terakhir pizza, permen manis, trampolin di halaman belakang rumahku, sepeda roda tiga kesayangannya, juga rahasia. Setidaknya sampai Tobi memutuskan ada hal-hal yang lebih baik untuk dia simpan sendirian.
     "Alina," panggilnya. "Kamu bengong lagi."
     Alih-alih menjawab, aku menatapnya semakin lekat. 
     Tobi punya mata bundar dengan bola mata yang sangat hitam, yang mengingatkanku dengan biji pepaya, kelereng atau langit malam saat bintang benar-benar tidak ada. Namun pandangannya teduh dan hangat. Di usia sembilan tahun pun dia terlihat seperti orang yang dapat kuandalkan.
     Tobi memiringkan tubuh seraya menatapku khawatir. Punggung tangan kanannya di tempelkan ke dahiku. "Serius. Belakangan kamu bengong terus. Kamu sakit?"
     Aku menyingkirkan tangannya dengan gerakan lembut. Tangan itu terasa kecil dalam genggamanku, meski tubuh yang kuhuni ini pun tak jauh lebih besar darinya. Saat ini aku masih penting. Masih menjadi Alina Kalista berusia sembilan tahun yang dia rasa harus dijaga.  
     "Aku oke kok," jawabku dengan senyum kecil.
     Tobi tampak tidak puas. "Pasti karena nilai ujian matematika kamu kemarin jelek, ya?" tebaknya. "Kan aku udah janji nggak bakal bocorin ke Bunda. Kalau kamu juga diam Bunda pasti nggak bakal tau. Jangan khawatir," sambungnya optimis.
     Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengajari kami berbohong. Namun momen ini cukup untuk membuktikan bahwa Tobi handal dalam hal itu. Nantinya akan lebih banyak kebohongan yang terlontar dari bibirnya. Mungkin juga bibirku. Tentang hal-hal yang lebih besar. Tentang hal-hal yang tidak seharusnya. Namun saat ini, masih ini. Masih ujian matematikaku.
     Aku menahan diri untuk memberitahunya kalau meski dengan semua usaha itu, kelak Ma akan menemukan kertas ujianku yang menggumpal di kolong tempat tidur dan aku akan dihadiahi larangan bermain keluar rumah selama satu minggu. Namun aku membiarkan rahasia itu menjadi satu hal yang hanya aku yang tahu. Karena bagi Tobi kecil, apa yang kutahu itu belum terjadi. Hanya aku yang telah melaluinya lebih dari yang dapat dihitung jari.
     Nantinya Tobi akan tumbuh delapan sentimeter lebih tinggi dariku. Trampolin di bawah tubuh kami akan jadi terlalu kecil untuknya. Gigi susu kelincinya tanggal satu persatu, digantikan jajaran putih yang terpampang rapi saat dia tersenyum. Lengan kurusnya memadat dan rahangnya mengeras. Suaranya jadi lebih serak dan tegas. Namun dia masih sosok yang sama.
     Masih Tobi. 
     Masih sahabatku.
     Setidaknya aku ingin berpikir begitu.
    Saat senja menyingsing sepenuhnya, aku membiarkan Tobi mengantarku pulang. Sepanjang jalan dia berceloteh tentang episode baru serial kartun yang sedang disukainya, juga keinginannya membeli kubik rubik setelah melihat salah satu teman sekelas kami memainkannya. Aku hanya mendengarkan dalam diam, sesekali mengangguk atau bergumam kecil, memberi respon yang cukup untuk membuatnya terus melanjutkan cerita. 
     Jari-jari kecilku menggenggam bandul dari gelang yang melingkari lengan kananku erat-erat. Aku menutup mata perlahan, membiarkan celotehan Tobi berubah menjadi dengung samar layaknya suara statis TV tua. Dunia di sekitarku mengabur, bagai detik-detik terakhir sebelum aku terlempar tidur. Namun pikiranku terpaku, membayangkan satu titik yang berbeda, garis waktu lainnya. 
     Aku bisa merasakan tubuhku mulai melayang. Namun tawa renyah Tobi memecah konsentrasiku. 
     Aku membuka mata dan mendapatinya menoleh padaku dengan senyum hangat. Dia tidak mengatakan apapun. Namun langit senja di atas kami, jalanan komplek perumahan yang sepi, angin yang berhembus sekilas, semuanya mendadak membuatku merasa penuh.
     Kulonggarkan genggaman pada bandul gelangku. Aku memutuskan untuk berada di momen ini lebih lama, menikmatinya sekali lagi. Satu masa di mana semua masih baik-baik saja. Juga kehadiran Tobi. Sebelum dia berubah menjadi sosok asing yang tak lagi kukenal.
 ☁ . ☁ . ☁ . ☁ . ☁
[ 5 november 2022 ]
                                      
                                          
                                  
                                              ESTÁS LEYENDO
About Time
Novela Juvenilhow far do we have to fall until we realize we need to fall back together? Ⓒ 2022 elcessa All Rights Reserved
                                              