BAB 11 ~ KIAMAT KECIL

324 53 4
                                    

Hana!

Ah, hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilku begitu. Siapa lagi kalau bukan lelaki yang paling kuhindari di dunia ini? Tubuhku menegang waspada, mungkin semacam mekanisme pertahanan diri, tapi  kedua lutut terasa goyah seolah tak sanggup menopang bobot  tubuhku sendiri.

Apa yang dia lakukan di sini malam-malam begini?

Aku bisa merasakan jemariku mendadak gemetar, tapi cepat-cepat kuredam dengan cara mengepalkan tangan kuat-kuat. Sambil menguatkan hati, aku memutar badan dan menoleh ke arah sumber suara.

Dalam keremangan cahaya lampu parkiran, kulihat Mahesa berdiri sekitar dua meter dariku. Memakai stelan formal--kemeja putih garis-garis dan dasi serta celana berwarna gelap--Aku menduga dia mungkin juga baru pulang dari kantor.

"I'm so glad to see you again, Han."  

Ada kesenduan yang kutangkap dari nada suaranya. Dia masih berdiri di tempat semula, dengan tatapan terkunci padaku.

Lidahku terasa berat berucap. Kalau boleh jujur, aku justru merasakan kiamat kecil mengguncang hidupku setelah bertemu lagi dengannya. Tiga puluh purnama menjauh dan mencoba melupakannya, tapi dalam hitungan detik, saat dia muncul hadapanku tempo hari, kurasa semua perjuanganku itu sia-sia belaka.

"Kamu apa kabar?" lanjutnya kemudian, mungkin menyadari aku hanya membeku di tempat.

Hidupku baik-baik saja, sebelum kamu dan calon istrimu muncul menjadi klien WeSto. Ada ribuan jasa WO yang keren di kota ini, tapi kenapa kalian harus memilih WeSto yang baru berkembang?

"Aku ... baik." Hanya itu yang bisa terucap dari mulutku. Bahkan untuk tersenyum pun sulit sekali rasanya. Sepeti ada kawat berduri memagari sekeliling bibirku, agar tak begeser dari tempatnya.

"Senang mendengarnya," ucapannya terdengar tulus, tapi justru membuat perasaanku semakin kacau balau.

"Aku mencarimu ke mana-mana, Han. Nomormu nggak aktif, emailku nggak dibalas, Bahkan semua akun media sosialmu juga udah nggak ada." Nada suaranya terdengar menuntut.

"Untuk apa mencariku? Bukannya semua urusan kita udah selesai?" ucapku dingin.

"Kamu menghilang begitu saja sejak hari itu. Ninggalin kotak berisi barang-barang peninggalan Yai di rumah. Bagaiman bisa kamu bilang urusan kita sudah selesai?"

"Oh, itu ... aku minta maaf, kalau peninggalan Yai itu, nggak bisa menutupi semua kerugian materi dan non materi yang udah ditimbulkan Ayahku."

"Han ...." Suaranya terdengar memelas.

"Aku akan membayar sisanya, sebut saja berapa lagi yang harus kubayar agar kita nggak perlu lagi berurusan," selaku cepat.

"Kamu tahu, bukan itu tujuanku membahas warisan Yai yang kamu tinggalkan itu."

"Lalu apa?"

"Itu milikmu, aku ingin mengembalikannya."

"Terus utangku gimana?"

"Kamu nggak berutang apa-apa padaku, Han. Sudah berapa kali kubilang."

Aku terdiam. Mengingat kembali masa lalu seperti menggarami luka yang belum sepenuhnya sembuh. Perih.

Mahesa mungkin masih belum tahu sampai sekarang, bagaimana dulu mamanya menuding dan mencercaku habis-habisan. Kelakuan ayahku, tidak saja merepotkanku dan Mahesa akibat pinjaman online itu, tapi juga mempermalukan keluarganya yang terhormat. Bagaimana tidak, ayahku juga pernah menjual nama Papa Mahesa untuk sejumlah utangan lain pada rentenir.

"Oh, ya, di dekat sini ada kedai kopi. Bagaimana kalau kita ngobrol di sana? Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Mau, ya?"

Dia tersenyum samar, tanpa melepaskan tatapannya. Caranya bicara seolah-olah kami teman lama yang sudah kama tak bersua, bukan mantan pasangan yang bercerai dengan cara kurang mengenakkan.

LET'S GET MARRIED! (NIKAH, YUK!)Where stories live. Discover now