1. | ega

153 8 14
                                    

kouchi yugo sebagai eganishino nanase sebagai septa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

kouchi yugo sebagai ega
nishino nanase sebagai septa

**

Isyarat Sore
(1698 kata.)

**

Sayup-sayup, aku mendengar 11 Januari mengudara di radio ruang tamu.

Tidak ada yang salah tentangnya. Itu cuma lagu orang kasmaran yang saling bertemu pada pertengahan bulan pertama tahun masehi.

Harusnya tidak ada yang salah tentangnya.

**

Namanya bukan Mas Ega kalau tidak muncul dengan motor Honda CB1100 RS-nya yang paling klasik seantero Bogor. Rutinitasnya selalu begini: sore-sore dia mengirimiku pesan, menyuruhku menunggu di teras rumah, kemudian dia akan muncul dengan motor hitam bermesin gaduh itu di depan pagar. Senyum lebar Pepsodent-nya juga tidak pernah absen.

Ibu selalu mengajak Mas Ega masuk—tetapi berulang kali ditolak oleh pria yang satu itu. Katanya, semenjak abangku pergi ke pangkuan lIahi, dia belum berani melihat benda-benda yang terasosiasikan dengannya. Masih terlalu sulit.

Abang dan Mas Ega adalah kawan masa kecil. Mereka sempat terpisah karena keluarga kami terpaksa pindah ke Kalimantan karena dinas Ayah—tetapi pada akhirnya, Bogor adalah rumah. Begitu kami memutuskan untuk kembali menetap di sini, Mas Ega jadi tamu pertama yang datang membawa lapis talas dan seikat dukuh, plus senyuman terangnya.

Meski keduanya teman dekat, hobi Abang dan Mas Ega begitu berbeda. Abang suka naik-turun gunung, sementara Mas Ega lebih suka berkutat di bengkel. Mas Ega tidak sekali-dua kali dihasut Abang untuk ikut nanjak—sayang selalu ditolak. Mas Ega suka alam, tetapi dia lebih memilih sesuatu yang tidak begitu riskan seperti berkemah.

Abang pergi meninggalkan kita semua saat sedang ekspedisi naik ke Rinjani sebagai perayaan tahun baru bersama teman-teman sekampusnya. Aku ingat Mas Ega tidak begitu banyak bicara pada saat pemakamannya. Dia membantu Ayah meletakkan jasad Abang ke tempat peristirahatan terakhirnya, lalu sudah. Tidak menangis, tidak apa.

Namun, hari-hari setelahnya, dia selalu mejeng di rumahku. Membantu Ibu merapikan bekas tahlilan, menolong Ayah untuk membakar beberapa barang milik Abang, memanjat pagar untuk melepaskan tenda—hal-hal kecil dia lakukan sampai aku bingung. Saat aku tanya motifnya melakukan itu semua, dia hanya jawab dengan senyuman kecil, "sudah sepantasnya aku membantu keluarga yang berduka, 'kan?"

Jarak umurku dan Mas Ega hanya terbilang dua tahun. Akan tetapi, saat dia menatapku dengan senyuman kecil itu, aku merasa seperti anak umur empat tahun.

Sore ini, dia menyambutku dengan senyum itu di balik pagar. Masih di atas motornya, Mas Ega melambaikan helm abu-abu yang sering dipakai Abang kalau pulang bersamanya.

and i think, i'll fall in love.Where stories live. Discover now