Pertemuan

320 32 16
                                    

2006

"Kalian yakin?"

Seluruh mata para manusia yang tengah duduk dalam sebuah lingkaran besar kini tertuju pada sang gadis bermahkota nila. Ya, gadis itu, si aneh Hyuuga Hinata. Memandang mereka tajam dari balik poni tebalnya. Dengan tangan yang seolah-olah menghilang dalam saku jaket kebesaran warna lila.

Naruto berdeham, melirik kawan-kawannya yang kini pun tampak masih terkejut—tak dapat berkata-kata. "Kau mau ikut, Hinata?"

"T-tidak, dan tidak akan pernah." Si dara Hyuuga menggeleng. Hinata kini berani mengangkat dagu, memandang teman-teman sekelasnya itu dengan penuh keyakinan. "Kalian tidak tahu apa yang akan terjadi. Bersyukurlah jika gagal, tetapi kalau berhasil—jangan pernah memanggil namaku."

Naruto mengerjap, entah dalam bayangan atau memang terjadi—tetapi pemuda itu melihat bahwa netra Hinata sempat berkaca-kaca. Membuat setitik rasa bersalah mendalam dalam hatinya. Pun teriakan batin sisi pengecut dalam diri yang makin bersuara.

Uzumaki Naruto dan ketakutannya akan segala supranatural—apalagi mistik. Menonton film horor saja sudah setengah mati, saat ini seluruhnya Naruto lakukan demi gengsi.

"Astaga, Hinata. Kau jangan terlalu penakut begitu. Ouija ini permainan Amerika, dan kita bahkan di Jepang. Seperti dia bakal mengerti huruf di papannya saja." Kiba tertawa kecil, pemuda Inuzuka yang bahkan kawan dekat Hinata saja tak dapat menahan sebuah dengkusan. "Ini cuma permainan belaka, papan ouija palsu mainan anak-anak begini anggap saja monopoli. Kita juga melakukannya ramai-ramai. Justru, dia lah yang akan takut pada kita."

"Bersyukurlah kalian Neji-nii sedang sakit, tidak ada lontaran menyakiti hati di sini." Seluruhnya terdiam, tak ada yang ingin berurusan dengan sepupu Hinata, si tegas Hyuuga Neji. Neji lah yang mungkin akan menganggap mereka gila—karena pemuda itu menjunjung tinggi rasionalitas dan logika.

Para gadis pun kini tampak ragu—atau mungkin merasa tak enak hati pada Hinata yang manis. Haruno Sakura memikirkan untuk menghentikan segala, tetapi Yamanaka Ino yang masih penasaran—menahan lengan sahabatnya itu.

Naruto mungkin tidak peka, tetapi dengan seluruh atmosfer ini—pemuda itu merasa mati kutu karena tak dapat bersuara.

Hinata kemudian menghela napas melihat seluruh keraguan teman sekelasnya. Pada akhirnya, gadis itu melakukan hal yang dianggap kurang waras. Hinata mengeluarkan kedua telapak tangan dari saku jaket dan menangkupkannya. Membungkukkan badannya dengan hormat—

—pada si pemuda Uzumaki. Bibir Naruto terbuka lebar. "Kuharap setidaknya Anda peduli. Maafkan saya tidak dapat membantu."

"Hah? Siapa? Kau berbicara padaku?" Naruto menunjuk dirinya sendiri, berdiri seperti orang bodoh.

"Kau melihat apa, Hinata?" Shino jauh tampak lebih mengerti, mungkin—karena pemuda Aburame itu merupakan salah satu teman dekat Hinata pula. "Aku sangat yakin itu bukan kau, Naruto."

"Y-ya, bukan N-Naruto-kun," Hinata tampak menyadari aksinya. Gadis itu memasukkan kembali tangannya ke dalam saku. Wajahnya agak memerah. "T-tapi pada Kitsune-san di sana. Uhm, aku mohon izin untuk pulang lebih dulu. Lee-san, Tenten-chan, Shino-kun—aku mengandalkan kalian juga."

Dengan cepat Hinata kembali ke mejanya, mengambil tas dan berlalu dari kelas. Namun, di bibir pintu—kembali si nila berbalik dan menatap mereka penuh harap.

"Ini belum terlambat. Pulanglah jika kalian bisa. Kalian bahkan tidak tahu apa pun dan kalian terlalu meremehkannya. Aku benar-benar menganggap kalian sebagai temanku, teman-teman yang berharga." Hinata kembali menghela napas. Mematung di tengah-tengah pintu kelas mereka. "Tapi, jika tetap ingin melanjutkan—pegang erat keyakinan kalian yang kalian percayai dalam hati, jangan goyah. Berdoalah. Jikalau berhasil, selesaikan apa yang telah kalian mulai hingga habis. Jangan sampai tak selesai. Kalian yang hidup, kalian yang pegang kendali. Tapi sekali lagi—jangan sekali-kali meremehkan mereka yang kalian undang."

That DayWhere stories live. Discover now