Chapter 5: Post-Performance

556 67 1
                                    

"Lu di-chat gak nyaut sama sekali. Hape lu mode pesawat apa gimana sih?" Neo membuka suara tanpa balik badan.

Keempat pemeran utama telah saling berjumpa di backstage teater pertunjukan beberapa waktu lalu.

Sempat terjadi obrolan sejenak lalu bersama mereka berjalan menuju arah ke luar gedung. Dilewatinya area luas lobi utama yang sudah tak lagi ramai oleh pengunjung. Tersisa para petugas kebersihan dan penjaga-bersiap-siap menyambut jam tutup operasional.

"Lah, elo gue telfon sampe lima kali anjir," protes yang diajak bicara, berjalan tepat di belakang sohibnya. "Mana missed call semua!"

"Yang," Neo memanggil Louis di samping kiri dengan menyikut lengan atasnya. "Tadi denger nggak hapeku bunyi?"

Si pemain viola menggeleng. "Kamu baru keluarin handphone waktu ketemu Pond sama Phuwin tadi."

"Nah kan!"

Tentu yang dituduh di awal masih enggan menerima. Karena sangat mungkin jika pendapat sepasang kekasih bersifat subjektif belaka-saling proteksi alibi.

Sehingga Pond tak bisa kalau tidak berdecak penuh dugaan pada mereka. "Lo berdua sekongkolan pasti."

"Chat terakhirnya nanyain posisi lo di mana, Pond," Louis menjelaskan. Nada bicara terdengar ingin meyakinkan bahwa apa yang terucap memang benar nyatanya.

"Mana?" Sang bassist membuka kunci layar ponselnya. Hanya berisi notifikasi dari Twitter, Instagram, serta promosi produk dari SMS. "Gak ada yang masuk!"

Karena si penyanyi opera berjalan tak jauh di kanan Pond, maka bisa melihat layar yang saat ini terarah di depan wajahnya. "Mungkin... Kak Neo yang paketannya habis?"

"No way, no way!" Langsung dibalas oleh yang ditanya, seraya menggoyangkan telunjuk di udara ke kanan dan kiri.

"Atau... Kak Pond?"

"Lo denger sendiri notif pas kepencet seberisik apa di backstage."

Jari-jari Phuwin asik bermain dengan tali jaket miliknya. "Iya juga sih..."

"AH MASA GUE YANG-"

Ada hening yang janggal, setelah Neo benar-benar melihat ponselnya sendiri. Langkah kaki juga melambat, sampai ketiga lelaki lain harus pula mengikuti.

"Oh..."

Layar ponsel menunjukkan simbol-simbol setting, dan tepat di sanalah sumber perdebatan itu bermula.

Reflek, Louis mengucap nama Tuhan.

"Kenapa, Kak?" Phuwin bertanya. Bahu kakak kelas SMP-nya disentuh. "Beneran habis?"

Kekasih Neo diam sejenak, lalu disusul usapan pada pelipisnya sendiri. Pemicu kerusuhan dijatuhkan gamblang layaknya bom waktu siap ledak. "Yang mode pesawat... handphone-nya sendiri."

". . ."

"GUE RUJAK LO YA?!"

Dua oknum sahabat berlarian sampai melewati pintu utama. Lebih tepatnya, Pond bukan main mengejar Neo karena sudah salah kaprah perihal asumsi berkebalikan. Untung saja, jalanan di luar hanya dilewati segelintir orang berlalu-lalang. Karena jika tidak, mereka sudah menjadi pusat perhatian oleh khalayak ramai.

Setelah puas menepuk berkali-kali ujung topinya yang dipakai Neo, sang bassist menyudahi dengan syarat lelaki itu harus mengantarkannya pulang. Permintaan sempat ditolak mentah-mentah, sebab rumah Louis harusnya menjadi tujuan akhir 'kencan' malam ini.

Tapi Pond tak membiarkan rencana itu berhasil, dan justru memilih balas dendam demi keadilan. Neo menjemput paksa di awal perjumpaan, maka malam ini harus diakhiri dengan membayar kepulangannya agar imbas dalam sengsara.

"Yang, bantuin..."

Nada rayuan mulai dijadikan senjata oleh dia yang punya rencana. Wajahnya pun dilukis sesedih mungkin, sampai perlu memegangi lengan seperti anak kecil minta permen. Bayangannya dengan begitu, Louis akan meluruh dan membantu di ujung usaha.

Namun si pemain viola malah menunjukkan senyum hangatnya. Telapak tangan menangkup, lalu menepuk beberapa kali pipi sang kekasih sebelum berkata, "Tanggung jawab, Sayang. Tanggung jawab."

"MAMPUS!"

Pond Naravit tertawa lepas mendengar jawaban yang sangat diharapkan untuk muncul. Ekspresi pun begitu cerah seperti baru saja menang lotre dengan jumlah angka luar biasa. "Sekarang lo ambil mobilnya, dan jemput gue di sini," ucapnya menggunakan nada angkuh penuh perintah.

"OGAH BANGET GUA SENDIRI ANJ-"

"Ambilnya sama aku." Louis akhirnya menyeret lengan Neo, supaya dia mau bergerak. Lagipula, waktu sudah semakin larut. Tak ingin buang-buang waktu menunggu perdamaian antara dua sahabat karib.

"LU EMANG MONYET!"

"GAK DENGER!" Pond berseru mengejek seraya telapak tangan diletakkan samping telinga.

Hening kembali menyambut setelah kepergian sepasang kekasih menelusuri pedestrian.

. . . . .

MELLIFLUOUS • pondphuwin ✔Where stories live. Discover now