Here We Are

49 4 0
                                    

Hot! Satu kata yang paling tepat untuk mewakili karakter si tante satu ini. Tante? Sepertinya ... tidak juga. Dia masih kelihatan muda. Kurasa lebih pantas disebut teteh atau mbak. Usia dia pasti tidak terlalu jauh dari aku.

"Nah, ini mesin jahitnya." Akhirnya, dia melepaskan lenganku. Ada yang menonjol, tetapi bukan bakat ketika dia merapatkan tubuh selama menggandengku.

"Saya cek dulu, ya." Aku langsung duduk di lantai dan mengeluarkan peralatan dari tas kecil yang kutenteng dari tadi. Semoga bisa konsentrasi.

"Kamu mau minum teh, kopi atau ... susu?"

"A-air aja, Mbak!" Goblok! Kenapa aku jadi gugup?

"Air teh, air kopi, apa ... air susu? Yang jelas, dong, Arsha." Perempuan itu mendesah manja. Suara serak-serak beceknya pasti bisa membuat lelaki mana pun terpeleset, lalu terjerembab ke pelukannya. Aku yakin itu!

Kalau digoda sama setan terkutuk, aku masih mampu melawan. Kalau setannya seseksi ini ... belum tentu bisa bertahan.

"Air ... putih ... dingin." Setelah berdeham satu kali, akhirnya aku bisa menjawab meski tetap tergagap.

"Oh, air es. Suka yang dingin-dingin, ya? Nggak suka yang hot, gitu?"

Aku hanya menanggapi dengan gelengan cepat, berharap dia segera pergi. Setidaknya, aku bisa punya waktu beberapa menit untuk menetralkan hati dan melonggarkan celana akibat si Johny yang mulai menggeliat, ingin berdiri menjulang tinggi. Malu kalau sampai Mbak V tahu.

Kali ini Tuhan mengabulkan permohonanku setelah bertahun-tahun abai terhadapku. Tubuh sintal itu berdiri, lalu melangkah pergi. Raga sudah tidak ada, tetapi bayangan tetap melekat di dalam kepala.

Pantas saja tadi Bang Mamat sempat bilang hati-hati. Ternyata, bukan perempuan galak yang aku hadapi, melainkan mbak-mbak seksi. Jangan-jangan, Bang Mamat sudah pernah ....

"Kerja, kerja, kerja!" Kupukul kepala sendiri agar kembali berkonsentrasi. Hanya ini caraku bertahan hidup, menjadi teknisi mesin jahit. Keterampilan yang aku pelajari secara otodidak, alhamdulillah bisa jadi sumber penghidupan.

Beberapa kenalan di pabrik pernah memberi peluang untukku. Sayang, ijazah menjadi kendala utama. Aku yang hanya tamatan SMP dianggap kurang memenuhi kualifikasi. Padahal, kalau soal kemampuan, jelas aku berani diadu dengan teknisi lulusan SMK.

Membetulkan mesin jahit itu ilmu katon, bisa dilihat dan dipelajari langsung dari pengalaman. Aku memang tidak pernah mengenyam pendidikan khusus soal ini. Namun, hasil bekerja serabutan di konveksi sembari belajar pada teknisi di sana, membuatku cukup mumpuni menanganinya. Terbukti, sekarang aku hanya bekerja sebagai teknisi saja.

Kelas empat SD aku pindah dari Surabaya ke daerah Ciwidey pasca kedua orang tua meninggal akibat kecelakaan. Ibarat makan buah simalakama. Tidak ada yang enak setelah tragedi itu. Aku sempat bimbang, mau tinggal dengan siapa.

Ikut keluarga Papa yang asli Madura, jelas aku tidak suka. Mereka terlalu agamis. Apa-apa dilarang. Bahkan, cara berpakaian pun terlalu diatur. Atas baju koko, bawah pakai sarung, sudah jadi semacam seragam di sana. Seragam sehari-hari, bahkan bisa dibilang sepanjang hari. Apa kabar aku yang lebih suka pakai jeans belel dengan sobekan di sana sini?

Aku memang masih kecil waktu itu. Namun, soal mode, jelas tidak akan ketinggalan. Sejak lahir tinggal di Surabaya membuatku terbiasa dengan tren kekinian. Alasan itu juga yang makin menguatkanku untuk memilih tinggal di Ciwidey, keluarga Mama.

Meskipun Ciwidey termasuk pelosok, tetapi tidak terlalu jauh dari Kota Bandung. Minimal aku tidak terisolir dari peradaban. Kalau di Madura? Nyeberang pulau!

"Ars, air putih sama buahnya kutaruh sini, ya. Kalau mau buah yang lain, bilang aja." Mbak V mengerling nakal. Entah, apa maksud ucapannya barusan. Hot pants yang dia pakai bernar-benar mengganggu fokusku bekerja.

"Jadi, kenapa dengan mesin jahitku, Ars?" Dia mendekat, kembali membuat jantungku kehilangan irama.

"Ini ... bulan-bulannya saja, perlu di-setting ulang." Sengaja aku tidak mau melihat ke arah dia. Lebih baik pura-pura sibuk daripada terjerat pesonanya.

"Oh, gitu. Kira-kira betulinnya lama, nggak?" tanya dia lagi sambil duduk di meja jahit.

Aroma khas tubuh Mbak V kembali tercium.

"Paling lama ... sepuluh menit lagi, kok." Duh, kenapa mulut masih saja tergagap, ya?

"Yah, kenapa buru-buru? Nggak bisa lebih lama lagi?"

Pertanyaan aneh! Dia benar-benar bukan pelanggan biasa. Orang biasanya minta cepat selesai. Kalau terlalu lama, bisa ngomel macam-macam. Yang satu ini ... malah minta jangan buru-buru.

"Kalau lama, nanti Mbak V tidak bisa kerja." Jawaban logis itu yang bisa kutemukan di selipan otak, lalu terlontar begitu saja. Anehnya, dia malah tertawa.

"Lho, kamu ini. Justru yang lama itu ... enak." Suara Mbak V terdengar makin seksi.

Tanpa sengaja, aku melihat leher jenjangnya, lalu turun sedikit. Sumpah, tidak sengaja dan hanya sedikit! Jakun bergerak naik turun. Untung saja, tidak lepas dari tenggorokan.

"Kalau gitu, aku siapin makan siang dulu. Habis ini kita makan bareng. Kamu langsung ke bawah aja kalau udah selesai. Nggak perlu aku jemput, kan? Udah gede, kok.

"I-iya, Mbak." Spontan, tanganku menutupi bagian rahasia. Sedikit jengah, tetapi ... tertantang.

"Panggil aku V aja. Nggak usah pakai embel-embel mbak segala. Biar kita bisa lebih akrab, Ars." Dia mengusap pelan lenganku.

Meski masih terbalut kain kemeja, tetap saja getarannya berhasil mengguncang ketenangan jiwa. Aku membayangkan, kulit tangan itu pasti halus ... mulus. Tidak hanya kelembutan yang dia tawarkan, tetapi juga kehangatan.

"Kenapa kamu nutup mata? Enak, ya?"

Asem! Celetukan Mbak V membuyarkan kenikmatan, mengembalikan kesadaran. Aku benar-benar malu.

"Anu ...." Kata pamungkas itu yang bisa keluar dari mulutku.

"Aku tunggu di bawah, ya." Dia tertawa kecil.

Akhirnya, aku bisa bernapas lega. Seluruh oksigen seolah-olah tersedot habis ketika dia di dekatku, berganti dengan gas yang mampu membius. Dia benar-benar memabukkan!

Setelah selesai membetulkan mesin dan merapikan peralatan, aku menuju ruang makan di dekat tangga yang kami naiki tadi. Mbak V sudah duduk, menunggu di sana. Dia langsung tersenyum begitu melihatku.

"Sini, Honey." Dia menepuk kursi di dekatnya.

Honey? Sayang? Sejak kapan aku jadi kesayangan dia? Aku tidak mungkin ... menolak.

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Dec 01, 2022 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

The AtticDonde viven las historias. Descúbrelo ahora