1. Prolog

437 23 18
                                        

Mario membuka matanya lebar. Dia mendapati seorang wanita terlelap dalam pelukannya. Gadis berponi itu membuka mata, Mario langsung menutup matanya dan pura-pura tidur. Mau ditaruh di mana mukanya jika ketahuan tidur bersama Aluna.

Aluna langsung melepaskan pelukan Mario. Dia merapikan kancing bajunya yang terbuka sedikit. Ya, mereka masih sama-sama mengenakan pakaian. Mario menelan ludahnya kasar, dia melihat punggung Aluna yang duduk dalam posisi tegak.

Wanita berambut pendek itu, sudah lima tahun bekerja dengannya. Sekertaris abadi. Hanya Aluna yang betah duduk di mejanya dan melayani Mario dengan segala kebawelan dan omelan yang tiada berhenti. Aluna selalu berkata, "jika kau tak menyukaiku, pecat saja jangan ragu!"

Namun, alih-alih memecatnya, Mario malah tertarik memelihara Aluna. Dia tak pernah ingin menghilangkan wanita itu dari kantornya. Aluna, gadis yah memiliki prinsip hidup yang sangat jelas.

"Saya memang sekretaris Anda, tapi saya tidak bisa bekerja over time, tidak bisa ikut Anda travel keliling dunia. Saya hanya akan ada di kantor pukul 8 pagi sampai 5 sore. Anda harus membayarkan lembur untuk saya jika bekerja di luar jam itu."

Aluna menoleh, Mario kembali memejamkan matanya.

"Ah, sial!" gumam Aluna pelan. Dia berdiri dan meninggalkan Mario sendirian.

Mario membuka matanya, dia hanya bisa menghela napasnya yang sejak tadi ditahannya.

"Apalagi ini Tuhan!"

Mario Kelvin putra pertam pemilik Surya Grup

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mario Kelvin putra pertam pemilik Surya Grup.
.
.
.

Aluna, gadis tanpa ekspresi yang hanya bisa tersenyum dengan bantuan keajaiban Tuhan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aluna, gadis tanpa ekspresi yang hanya bisa tersenyum dengan bantuan keajaiban Tuhan.
.
.
Hari Senin adalah hari paling dibenci Mario, kepalanya mendadak sakit setiap kali memikirkan semua pekerjaan yang harus dia kerjakan. Rapat dengan klien, belum lagi janji kencan buta yang sengaja dibuat ibunya. Dan bertemu si jutek Aluna.

Aluna, gadis pendiam yang selalu berbicara tegas itu sangat menyukai hari Senin, baginya Senin adalah sebuah awal produktivitas dan pintu pembuka cuan. Dia akan sangat sibuk sekali membalas semua pesan dan telepon yang masuk, memberikan semua proposal dan membacakan jadwal untuk Mario. Dia sangat suka, jika Mario tenggelam dalam kesibukan dan tak sempat mengusik hidupnya sementara waktu.

Hari ini, hari Senin, Aluna tak pergi ke tempat kerjanya seperti biasa. Dia selalu datang tepat waktu, dan pulang tepat waktu. Keteraturan, keselarasan, adalah hal yang sangat disukai Aluna. Dia benci setiap kali Mario merengek meminta jadwal rapatnya diganti. Dia juga benci jika Mario selalu memintanya makan siang di luar padahal pekerjaan masih banyak yang harus dilakukan.

"Hari ini, Aluna tak datang," gumam lirih Edward menatapi meja kosong Aluna. "Pergi ke mana dia? Bukannya dia hanya akan libur jika kau mati Mario?"

"Shut up! Bangke lu!" Mario melempar pulpen yang sedang dipakainya.

"Wih, ngambek, tumben! Padahal, biasanya kamu adalah satu dari tujuh orang yang tak pedulian ama bawahannya. Kok, sekarang beda?"

"Berisik, lu, Ed!"

Edward berjalan mendekati bosnya itu.

"Aku mau tanya, bukannya kemarin kalian pergi ke acara pernikahan mantanmu itu? Setelah acara, kalian pergi ke mana? Mustahil laki-laki seperti kamu party-party ngajak Aluna. Nggak mungkin 'kan?"

Mario memutar kursinya, menghindari pertanyaan Edward. Dia sedang memikirkan, apa yang sebenarnya terjadi kemarin malam. Apa yang membuatnya terlelap di samping Aluna? Kenapa juga harus tidur berdua?

"Apa kau mabuk lagi? Bukannya katamu, kau sudah insaf?"

"Pergilah jika urusanmu sudah selesai, Ed. Aku sedang tak ingin membicarakan itu sekarang."

"Baiklah, aku akan pergi. Permisi, Tuan."

Edward akhirnya meninggalkan Mario sendirian di ruangannya. Dia melirik sekilas ke meja Aluna yang sangat rapi. Ada sepi yang mendadak merasuk dalam dadanya. Bagaimana bisa gadis pendiam itu menghilang di hari sangat penting dan bersejarah untuk mengejek Mario yang sedang putus cinta?
.
Mario pulang ke rumahnya dengan wajah kusut tak berapi-api seperti biasanya. Dia membuka pintu kamarnya sambil menundukkan kepala. Lagi-lagi dia harus mendengar omelan ibunya perihal pernikahan.

"Kau udah tua, Rio, mau ngejar apalagi? Toh, wanita yang kau sukai sudah punya suami dan bayi yang lucu. Nggak usahlah ganggu dia lagi. Mending kamu fokus nyari istri. Liat, Mama sudah membuat janji dengan benerapa anak konglomerat lain. Liat dulu, Rio! Emang kamu nggak kepengen seperti Arbie?"

"Ya, pengen, Ma!"

"Ya udah, kawin!"

"Emang Mario ayam gitu, yang bisa kawin ama sebarangan orang?"

"Kemaren buktinya bisa!"

"Maaaa!" Mario hampir menangis.

Ibunya keluar dari kamarnya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Keputusannya sudah bulat, dia harus menikah. Segera.

Dia kesal sekali, diperlakukan seperti itu. Namun bagaimana, dia memang salah. Dia sudah berusaha menebus kesalahannya. Saham rumah sakit hampir bangkrut itu pun dia beli agar Aira tak didepak dari keluarga besar Ryu. Hanya itu, satu-satunya cara agar Aira dan bayinya bisa melanjutkan kehidupan.

Kabar baik dari Aika dan Arbie yang semakin hari semakin lengket juga membuatnya makin tersiksa. Arbie menolak bertemu dengannya, bahkan, dia sampai rela tinggal di cafe agar bisa sesekali mengintip istrinya di halaman rumah mertuanya.

"Bos!" Suara yang paling dia nanti itu akhirnya terdengar juga. Mario berpaling!

"Lun! Kau ke mana saja seharian! Aku kebingungan seharian! Kupikir kau hilang ke mana?"

Nada khawatir itu bukannya membuat Aluna menaruh simpati, dia malah menaikkan alisnya dan memiringkan kepalanya keheranan.

"Mulai, mode galaknya mulai!" kata Mario sebal.

"Saya mau mengundurkan diri!"

"Arrrgh! Kau bisa melakukan itu besok!"

"Aku mau sekarang!"

"Hah! Jangan bercanda, Lun!"

Mario mendekati Aluna, dia berdiri tepat di depannya, mencondongkan badanya dan berbisik tepat di wajahnya.

"Aku ingin tanya sesuatu, apakah terjadi sesuatu pada kita tadi malam, Lun?"

Aluna meremas jemarinya, dia berusaha tak terpengaruh dengan pertanyaan Mario. Matanya masih memandang jauh ke depan.

"Aku hanya ingat, aku memainkan rambutmu dan memelukmu erat. Apa kau mengingat sesuatu?" tanya Mario lagi. Air muka Aluna berubah, deru napasnya yang biasa juga terdengar berbeda. "Kau panik, Lun? Ini bukan seperti dirimu yang biasa," bisik Mario lagi.

Aluna menarik sudut bibirnya, dia menoleh ke arah Mario. "Jadi, kau tak ingat sudah melakukan itu padaku?" tanya Aluna lurus.

Mario terperanjat mendengarnya. Dia menatap wajah Aluna tak percaya. Aluna menarik sudut bibirnya, dia menarik dasi Mario, membuat wajahnya semakin mendekat.

"Aku bisa saja memintamu bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi. Tapi, aku tahu diri, oleh karenanya untuk terakhir kalinya, pecat saja aku jika kau memang sudah bosan melihatku."

Mario tersenyum kecil, "kau mengatakan itu untuk ke 509 kali, jawabannya masih sama, aku tak mau ada wanita lain yang mengurus keperluanku selain kamu, Lun!"

Ibu Mario berdiri di ambang pintu kamar anaknya, dia mendengarkan pembicaraan mereka berdua.

"Dasar anak nakal!"

Kutukan MantanWhere stories live. Discover now