POV Amanda
"Sudah bangun, Tuan Putri? Bagaimana perasaanmu?" tanya Logan sambil mengecup ringan puncak kepalaku dan satu tangannya kemudian beralih melingkari perutku.
Aku bergumam dari sela-sela kuapku. Mendengar suara derit pegas ranjang yang berderak oleh bobot tubuh Logan yang berguling ke samping. Aku lalu menoleh, melihat otot-ototnya yang liat menerbitkan gelenyar aneh di perutku, dan mengawasi gerak-gerik Logan lebih lama dari biasanya.
"Menikmati yang kau lihat, little one?" goda Logan yang mengerling sekilas, lantas menyambar sehelai celana pendek dari dalam lemari di sudut kamar.
"Yeah, pemandangan yang bagus."
"Mau mandi bersama? Setelah itu kita akan pergi ke suatu tempat."
Aku menggigit bibir. Membayangkan tempat seperti apa yang Logan maksud. "Suatu tempat?"
"Kau akan menyukainya." Logan kembali mengambil dua helai handuk baru dan memamerkan senyumnya.
"Yang mana?" tanyaku menatap Logan tanpa berkedip.
"Dua-duanya?" Satu alis Logan menukik ke atas.
"Penawaran yang pertama terdengar lebih menyenangkan bagiku." Aku lagi-lagi menggigit bibir dan mengamati ekspresi geli di wajah Logan.
"Aku akan menunggumu di bawah pancuran," katanya mengedipkan satu mata padaku dan berbalik meninggalkanku menuju kamar mandi.
Aku mengawasi punggung Logan yang menjauh. Kepergiannya mendadak menciptakan perasaan tidak nyaman di dadaku. Aku lalu bergegas bangkit dari ranjang dan menyeret langkahku untuk mengikuti jejaknya menuju kamar mandi.
Suara air langsung menyambutku di detik pertama. Siluet tubuh telanjang Logan dari balik panel kaca partisi tampak menggairahkan. Pemandangan itu erotis dan maskulin, menyulut daya tarik seksual yang luar biasa, sesuatu yang membangkitkan sisi lain diriku.
"Logan?" panggilku parau.
"Masuk dan bergabunglah bersamaku, Amanda."
Saat aku menggeser pintu kaca, membuatnya terbuka lebar dan merasakan cipratan air yang menyentuh jari-jari kakiku, aku sudah bisa menebak sisa adegan yang selanjutnya akan terjadi di antara kami. Gairahku dan Logan seperti api. Liar, membara, sesuatu yang berdenyut dan hidup melingkupi emosi kami dalam penyatuan berikutnya.
Rasanya tidak pernah ada kata cukup. Rasanya aku lebih suka meresapi segala kenangan, mengabadikannya dalam kepalaku, berlama-lama pada setiap detailnya. Merasakan kulitku dan kulit Logan melakukan kontak, saling menyentuh satu sama lain, ini adalah salah satu skenario favoritku.
Saat Logan mulai menyelipkan tubuhnya yang basah ke tubuhku, aku spontan mengerang. Sensasi bercinta di dalam kamar mandi, tepat di bawah tiang pancuran yang menyala, merupakan pengalaman paling mendebarkan sepanjang yang pernah kuingat. Kenikmatan yang kuharap tidak akan cepat berakhir.
Samar, aku mendengar Logan menggeram dari sela-sela bibirnya yang terkatup rapat. Pinggulnya berayun perlahan, merasakan setiap momen, merasakan tubuh kami yang saling memberi dan menerima. Jemari Logan memantapkan posisi pinggulku dalam dekapannya, lalu mengentak dengan ritme.
"Oh, Amanda. Apa yang kau lakukan padaku? Apa yang kau lakukan pada Daddy?" desis Logan yang pergerakannya mulai kasar selepas kami berada dalam posisi ini selama beberapa waktu dan membuat tubuhku terguncang keras setiap kali dia mengayun.
Dan kemudian aku menjerit, menancapkan kuku-kuku tanganku, yang tidak pernah benar-benar panjang, pada leher dan punggung Logan. Aku melihat warna-warna cerah berkelebat seperti kilas balik singkat dalam pikiranku, seperti kepak sayap kupu-kupu yang sedang berburu nektar, sebelum akhirnya punggung dan seluruh tubuhku gemetar tidak terkendali dalam pelukannya.
"Rasanya sudah dekat. Sedikit lagi," bisik Logan yang kembali menggeram di depan wajahku.
"Untukku. Semuanya untukku." Aku mengecup ujung hidung Logan yang meneteskan air, mulai pulih dari klimaks yang baru saja membuatku berteriak, dan menunggu Logan untuk menuntaskan gilirannya.
"Bo-bolehkah aku...?" Logan tidak melanjutkan pertanyaannya, tetapi aku tahu dia meminta persetujuanku sekali lagi, persetujuan untuk memenuhi diriku dengan dirinya.
"Please, Daddy." Aku mengangguk kaku, memejamkan mata, membiarkan leherku menjenjang sebagai simbol penegas bahwa aku memang menginginkan Logan.
Menginginkan Logan seutuhnya.
Sepenuhnya.
Dalam diriku.
Menyerahkan jiwaku pada pria ini, pria yang tengah mengentakkan ayunan terakhirnya pada tubuhku, dan kami sama-sama gemetar sesudahnya. Lama, lama sekali, sampai kedua kakiku terasa mencair dan paru-paruku membengkak karena udara yang tiba-tiba mencekik leherku.
Aku siap memasuki fase baru bersama Logan. Fase dalam kehidupan pernikahan kami, tertawa dalam cinta yang dilimpahkan Logan padaku, dan menangis di antara begitu banyaknya perbedaan yang membentang dalam hubungan kami. Namun, aku tahu kami akan baik-baik saja.
"Sempurna. Hari ini terasa sempurna. Aku janji kau tidak akan menyesalinya. Aku tidak akan membiarkan kau menyesal karena pernah menikah dengan pria sepertiku." Logan beralih mencium keningku.
"Aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk menikah denganmu," semburku terkejut, menatap wajah Logan lekat-lekat, mengira aku bisa membaca isi hatinya lewat kilat misterius di matanya.
"Aku akan membuatmu bahagia. Ini sumpah," cetusnya lagi sambil mengangguk.
"Dan aku menerima sumpahmu, Tuan Caldwell." Aku mengalungkan kedua tanganku di leher Logan dan balas mengangguk.
"Apa kau siap pergi dengan pesawat terbang?" Suara Logan menciptakan gema di sekitar kami.
"Pesawat terbang?" Aku membelalak tidak yakin dengan pendengaranku sendiri.
"Masih ingat dengan ide berlibur ke pulau pribadi milik salah satu temanku di Italia? Yang kukenal waktu aku menggelar pameran di sana."
"Keluarga Botticelli?"
"Aye."
"Apa itu aman? Maksudku, mereka mafia." Aku bergidik ngeri membayangkan wajah dengan ekspresi sinis, mungkin dengan parut pada sebelah alis atau matanya akibat perkelahian antar geng, membawa pistol-pistol yang diselipkan dalam saku celana panjangnya.
"Dia petani anggur, Amanda. Yang menjalankan bisnis kotor itu hanya ayah dan kakak laki-lakinya yang juga telah lama tiada."
Logan menurunkan tubuhku dan menambahkan, "Bisnis anggurnya berkembang pesat. Aku bahkan pernah mencicipi rasa anggur mereka."
"Benarkah? Kalau begitu, bawa aku ke sana."
"Bolehkah aku menganggapnya sebagai perjalanan bulan madu kita? Bulan madu yang belum pernah benar-benar kita lakukan sebelumnya karena peristiwa waktu itu."
"Ini akan jadi pengalaman berbulan madu yang hebat," komentarku sambil melarikan ibu jariku ke permukaan bibir Logan, lantas menyentuh bibirnya dengan bibirku.
"Kita harus mandi sekarang." Logan memperingatkan di sela-sela ciuman kami yang lembut, pelan, dan spontan.
"Sekarang? Tidak bisakah kita menundanya sebentar?" Aku menggoda Logan, bibirku merayap menuruni rahangnya, menciptakan gelombang erotis di sepanjang bakal janggutnya.
"Kau memberiku pilihan yang sulit, Amanda." Logan terkekeh karena aku belum berhenti mendaratkan permainan bibirku di wajahnya.
"Well, kau bebas menentukan." Aku berbisik di dekat telinganya.
"God. You may need to use your safe word tonight." Aku melihat Logan menggertakkan giginya sebelum meraih daguku, menjulurkan ujung lidahnya dan menjilat dengan cara yang erotis, membuat kedua pundakku langsung menggigil karenanya.
"You make me feel so naughty, Daddy."
"Kau memang nakal, Amanda. Gadis nakalku." Logan kembali terkekeh lalu melepaskan diri.
"Sepertinya kita memang benar-benar harus pergi?" tanyaku memastikan.
"Benar. Jadi, bersiaplah untuk kejutan yang akan kau terima sebentar lagi."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot Sugar Daddy
Romance[21+] (SUDAH TERBIT DI GOOGLE PLAY STORE) Logan Caldwell punya semua sifat yang Amanda Fletcher benci. Pria itu dingin, dominan, dan perfeksionis dalam setiap hal. Namun, antipati yang semula mengisi dada Amanda mendadak berubah menjadi rasa asing y...