8

82 7 9
                                    

Ibu melihat Sodam menyiapkan bekal makanan di dapur, bukan satu tepak melainkan dua, komplit dengan cemilan dan tas bekal. Mendekati putrinya yang nampak begitu sibuk, Ibu berinisiatif membantu, mengambil alih telur dadar dan memotongnya dengan presisi. 

"Sejak kapan kamu makan banyak begini sampai bawa dua bekal?" 

Sodam tak menjawab, pura-pura menata camilan kedalam tepak lainnya. 

"Mau kamu antar ke tempat kerja Johnny apa dia yang mampir ketempatmu?" Tidak betah, Ibu membuka pembicaraan dengan jelas, Sodam bukan lagi remaja, berbelit-belit jelas bukan hal yang bagus. 

Kali ini Sodam menghentikan aktifitasnya, tubuhnya bergerak pelan untuk menatap Ibu yang sudah selesai dengan telur gulung. "Ayah kamu, benar-benar gag bakalan ngasih restu." Ibu mendahului, membuka pembicaraan pagi ini dengan sedikit berat. 

"Aku tahu."

"Kamu harusnya tidak bertindak sejauh ini."

"Tapi Johnny punya anak, Bu." 

"Sodam!"

"Maria sangat suka sama aku, kami cocok, dia anak yang baik dan penurut." 

"Ingat Sodam, semua kemalangan dalam hidup kamu tidak ada andil siapa pun, kamu yang membuat hal itu terjadi."

"Jika aku kawin sama mas Johnny, dia gag bakal kecewa, aku juga gag bakal sedih, Maria akan nerima aku sebagai Ibunya. Kami akan bahagia, Bu."

"Cukup Sodam!" Ibu menggebrak meja, Sodam terkejut dibuatnya, kedua mata mereka bertemu, ada emosi yang begitu meluap di mata Ibu. "Kamu, cuma nyari bahagia buat diri kamu sendiri." Penekanan kalimat dari mulut Ibu seperti tamparan, Sodam menundukkan kepalanya. 

Ibu tidak pernah begitu keras kepada Sodam, satu-satunya suport system yang Sodam miliki kini terang-terangan menolak keputusannya. Mata Sodam mulai terasa panas, dadanya terasa sesak, pagi ini di dapur harusnya ia bisa mengawali hari dengan gemilang, bukan sebaliknya. Ide membuatkan Johnny bekal untuk makan siang adalah buruk. 

"Hubungan kalian masih seumur jagung, Johnny tidak tahu tentang kamu begitu pula sebaliknya. Jangan gegabah Sodam, Ibu tidak mau kamu hancur untuk kedua kalinya."

"Tapi mas Johnny nerima aku apa adanya-

"Kapan dia bilang begitu? Jangan pernah menyimpulkan isi kepala orang hanya dengan sikap yang mereka berikan sama kamu!"

"Maria sayang sama aku, bu."

"Maria kangen sama Ibunya, kamu bakal jadi bayang-bayang Ibu Maria sampai kapan pun."

Acap kali Maria mengatakan jika Ibunya adalah perawat yang cakap di sebuah rumah sakit bagus, setiap mendengar itu Sodam merasa begitu buruk, dia hanya perawat sekolah, tidak ada apa-apanya.

"Tapi aku ingin punya anak bu, aku mau punya keluarga yang utuh, aku bisa dapetin itu semua lewat Mas Johnny." Suara Sodam terdengar penuh penekanan, perempuan itu menegakkan kepalanya, menatap Ibunya dengan sorot menantang. "Saya yakin sama Mas Johnny." 

"Kita nurut saja sama Ayah kamu." Suara Ibu tak kalah mantap. 

||

"Bisa nitip ini buat Pak Johnny." Sodam mendorong tas bekal di atas meja resepsionis, 30 menit lagi waktunya makan siang.

"Pak Johnny bagian apa ya mbk?"

Sodam kebingungan, dia tak tahu Johnny bekerja di divisi apa. "Yang tinggi banget, badannya gede."

Seketika si resepsionis mengangguk faham.

"Dari siapa kalau boleh tahu?"

"Sodam."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jarak | Johnny SuhWhere stories live. Discover now