Chapter 2

49 4 44
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Namanya Ace--disebut dalam dua silabel, A dan Ce.

Baru beberapa hari kemudian Sola akhirnya mengetahui nama lengkapnya: Ace Hidayat.

Entah itu nama aslinya atau bukan, Sola tak bisa menebak. Yang jelas, nama itu sama sekali tidak cocok dengan penampilannya, pikir Sola.

Perawakan Ace memang tampak menonjol dibanding rekan-rekannya sesama pekerja pelabuhan. Banyak di antara pekerja pelabuhan yang berkulit cokelat atau lebih gelap karena lebih lama tersengat sinar matahari. Tapi Ace berkulit putih, dan justru cenderung kemerahan jika ia terlalu lama berjemur di atas laut.

Badannya jugalah yang paling besar dan paling tinggi dibanding siapapun di dermaga pelabuhan itu. Bahkan jika dibandingkan polisi KKP, ia tampak seperti raksasa. Berbanding terbalik dengan badan besarnya, Ace memiliki mata yang kecil, sipit dan tajam khas etnis Tionghoa. Jika tidak selalu mengenakan pakaian lusuh, Ace mungkin bisa dibilang mirip bintang film Asia.

***

Suatu sore, Sola mendapat tempat duduk paling sial bagi banyak orang, tapi justru paling menguntungkan baginya, karena ia bisa mengamati sosok Ace dengan sangat jelas dan dekat. Tempat duduk kayu di bagian paling belakang perahu itu tidak mendapat perlindungan dari atap terpal yang menaunginya. Siapa pun yang duduk di situ tak pelak bakal terciprat ombak laut.

Sola juga mengalami kesialan itu ketika perahu mesin mulai berjalan dari dermaga ke dermaga. Rambutnya yang dikucir kuda, tertarik angin kencang ketika perahu melaju. Poni panjangnya berjurai berantakan hingga hampir menutupi seluruh muka. Bibirnya pun lama kelamaan asin akibat percikan air yang kian menciprat deras tiap kali bokong perahu menghempas keras permukaan laut.

Namun, dua hal itu--baik angin maupun air laut--jadi hal terakhir yang ia khawatirkan. Pasalnya, ada hal lain yang membuatnya cemas sampai dadanya berdegup tak karuan. Perkaranya, di posisi menghadap buritan ini, ia terpaksa harus duduk berhadapan tepat dengan sang pengemudi pompong, Ace Hidayat.

Sejak perahu bertolak dari Pelabuhan Pengumpan, papan kayu yang didudukinya itu seolah membuat bokongnya tak nyaman. Beberapa kali ia mengubah posisi duduknya, dari menyerong ke kiri, lalu menyerong ke kanan, kemudian kembali ke posisi awal. Bagaimana tidak, jarak kedua lututnya hanya beberapa sentimeter dari tulang kering Ace.

Padahal selama perjalanan, Ace sama sekali tidak meliriknya tapi Sola justru salah tingkah. Seolah tak menyadari kegelisahan perempuan itu, Ace terus saja memaku tatapannya ke arah hamparan laut, sambil sesekali tangannya membelokkan kemudi mesin tempel.

Ini adalah kesempatan untuk memudarkan keasingan di antara mereka!

Sola berpikir mungkin inilah saatnya ia dapat memulai percakapan pertama dengan Ace. Tidak perlu muluk-muluk, percakapan itu mungkin bisa dimulai dengan sekadar bertanya, kenapa harga tiket pompong naik dua ribu rupiah? Apakah penyebabnya imbas penyesuaian harga BBM akhir-akhir ini? Ya, menurutnya itu suatu percakapan wajar antara penumpang dan pengemudi boat pancung.

SolaceWhere stories live. Discover now